written by : Febry Fanytasy (FMS) @fanytasy
“Apa kau percaya dengan adanya peri dan penyihir? Baik, aku sangat mempercayainya. Namun, jika kau memercayai semua yang kau baca, lebih baik jangan membaca.”
Capitulo 9
Kata “Peri” telah disalahgunakan sepanjang sejarah penggunaan bahasa Inggris oleh bangsa manusia. Ada kepercayaan bahwa kata “Peri” adalah sebuah istilah lampau, muncul setelah masa pertengahan yang diartikan sebagai wanita-wanita jahat yang memiliki kekuatan sihir. Istilah Perancis“fai” berasal dari Bahasa latin “fatae” yang berarti “wanita-wanita peri yang mengunjungi sebuah rumah tangga pada saat ada peristiwa kelahiran dan meramalkan masa depan dari si bayi, seperti yang dilakukan oleh tiga takdir (Three fates). Kata “Peri” sebenarnya berarti “fat-erie” , seperti “state of enchanment and that transferred from the object to the agent”.
—Leona Lovegood, ahli sejarah Feyland.
Angin dingin menyambutku di sisi lain portal. Mendung tebal menggelayut di angkasa Bumi, tak setitik pun berkas berwarna biru di langit. Aku dan Taeyeon semakin dekat dengan kota manusia, kami sepakat menyusuri jalan setapak yang membelah hutan.
Entah ada angin apa, Taeyeon tiba-tiba saja mengajakku kembali ke Bumi selepas pelajaran pengamatan Bumi tadi siang. Katanya, akan lebih baik jika kita dapat mengamati Bumi secara praktikal dari pada harus mempelajari teori pengamatan dari kejauhan, sialnya aku selalu sependapat dengannya.
Hutan itu berakhir pada ujung jalan yang melingkari sebuah lapangan rumput hijau terang yang terpangkas pendek. Di tengah-tengah lapangan ada taman bermain. Pasir di tebarkan di bawah menara-menara panjatan berwarna merah dan biru, mengingatkan aku pada Galena. Anak-anak manusia berlarian dan berloncatan di atas menara itu seolah mereka berharap sayap akan tumbuh pada tubuhnya.
Kami terpana oleh pemandangan yang kami lihat, Taeyeon dan aku berdiri di bawah pohon kapas yang teduh.
“Agak terlalu awal untuk merayakan Halloween, bukan, anak-anak?” suara itu berasal dari arah bahu kiriku.
Dengan terkejut, aku menoleh ke arah seorang perempuan bertopi lebar berwarna beidge dan berpakaian hijau. Kedua lengannya memegangi kereta dorongan kecil berisi bayi manusia yang sedang tidur. “Aku suka sekali pada kostummu,” katanya, “dan riasan wajahmu seperti bukan dari sini.”
Mataku berkejap. Seperti apa pun bayanganku tentang manusia, tidak akan seperti ini.
“Kain yang mengaggumkan,” dia melanjutkan sambil membelai lengan bajuku. “Aku belum pernah melihat kain seperti ini. Ini kelihatannya tipis sekali, tetapi ternyata tidak. Di mana belinya?”
Kemudian dia meraba salah satu sayapku. “Wow,” dia melanjutkan, dengan sembrono membelai tepiannya. “Di mana kau mendapatkan bahan seperti ini?” Dia mengangkat sebagian sayapku ke dekat wajahnya. “Begitu halus dan lembut, tetapi kelihatannya kuat. Dan ada urat-uratnya! Betul-betul sentuhan yang indah. Kau seperti kupu-kupu raksasa.”
Sepertinya dia tidak sadar bahwa kami tidak menjawab satupun pertanyaannya.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, sepertinya di kelas pernah diajarkan bahwa jika peri ingin pergi ke dunia manusia, maka ia harus bertransformasi menjadi sebuah kupu-kupu, namun sialnya aku tidak sempat menghafal manteranya. Aku menatap Taeyeon lama, berharap ada peri Ungu selain aku yang menghafal mantera ‘kamuflase’ tersebut. Namun, ia tampaknya tak menangkap radarku dengan benar. Hal itu tergambar jelas dalam raut wajahnya.
“Aku senang menjahit,” perempuan itu melanjutkan. “Apa kau memesan kostum ini?”
“Mmm,” aku menggumam.
“Apa kalian akan bermain drama?” tanyanya kemudian.
Aku menggelengkan kepalaku.
Entah apa yang akan terjadi kemudian, seandainya bayi yang tidur di dalam keretanya itu tidak terbangun dan mulai menangis.
“O, jangan menangis, Sayang,” kata perempuan itu dengan suara mendayu, lalu melepaskan pegangannya pada sayapku, dan membungkuk untuk mengusap kepala bayinya.
Bayi itu justru melengking.
“Baiklah, ayo kita pulang.” Kata perempuan itu sambil menegakkan punggungnya. “Oke, anak-anak, daaaaaaahh… kostum kalian bagus!” Begitu perempuan itu beranjak, tangisan bayi itu pun berhenti.
Ketika melihatnya pergi, aku melihat seorang remaja putri jakung berambut merah kecoklatan, entah mengapa wajahnya tampak familiar. Matanya bercahaya ketika melihat kami, ia tersenyum.
Aku mundur kembali memasuki hutan sambil berharap Taeyeon segera menyusulku supaya kami bisa pergi bersama. Harusnya kami tidak datang ke sini. Harusnya tidak sekarang, tidak di siang bolong begini, apalagi di tempat terbuka. Bumi pada malam hari akan lebih aman. Bagaimana jika kejadian ini ketahuan di Fairyland?
Dengan gelisah, aku memandang arena bermain itu, ke kelompok anak-anak yang berjarak dua puluh rentangan sayap. Seorang gadis kecil dengan kepang merah berdiri di pinggir anjungan. Anak lelaki berambut hitam di belakangya mengayun-ayunkan lengan, mengenai bahu anak perempuan itu. Gadis kecil itu terjatuh.
Tanpa berpikir panjang, aku melayang ke sana dengan kecepatan yang belum pernah kulakukan, dan menangkap gadis cilik itu sebelum dia terempas ke tanah. Aku meletakkannya sebelum aku menyadari tindakanku.
Gadis itu menatapku dengan mata birunya yang bundar. “Kau bisa menangkapku?” teriaknya lalu melambaikan tangannya pada seseorang di belakangku. “Nickhun!” dia berseru. “Niiiiiccckkk!”
Anak-anak lain yang sedang bermain di arena bermain itu mulai berteriak-teriak, “Peri!” Mereka saling bertubrukan ketika berusaha meraihku.
Bocah lelaki berambut hitam itu meluncur turun melalui sebuah tonggak, lalu menangkap sayap kananku dengan kedua tangannya, dan memelintirnya. “Ini benar-benar peri!” teriaknya. “Ayo kita tangkap!”
Aku berusaha untuk mundur tetapi bocah itu menyeringai, dan tetap memegangiku kuat-kuat.
“Hei!” suara di belakangku berteriak. “Lepaskan!”
Seorang pemuda menepis anak-anak yang mengelilingiku dan membuat bocah laki-laki itu melepaskan cengkeramannya pada sayapku.
Manusia baru itu berambut coklat dengan mata senada. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya.
Aku tidak bisa bicara. Masih terpana dengan kejadian barusan.
Dia berpaling ke arah gadis cilik berkepang itu. “Ada apa tadi, Victoria?”tanyanya.
“Peri itu menyelamatkanku,” jawabnya.
Aku tidak dapat menjelaskan apa yang kulakukan setelah itu. Alih-alih berterima kasih kepada pemuda itu, aku justru terbang tinggi. Aku melayang-layang sesaat untuk mencari Taeyeon sementara anak-anak kecil itu berteriak dan melompat sambil menunjuk-nunjuk.
“Nick~,” rengek gadis kecil itu, “jangan biarkan dia pergi.”
Aku tidak melihat Taeyeon. Apa dia bersembunyi di balik pepohonan?
Aku memutar tubuh, lalu terbang. Napasku tersengal dan sayapku terasa lemah apa yang terjadi barusan? Nickhun berlarian di bawahku sambil memegangi suatu benda kecil berwarna merah di depan wajahnya.
*
Ketika aku membuka mata, kurasakan sesuatu yang hangat menyentuh tubuhku. Sepasang sayap ungu mengepak-ngepak saat aku mengadahkan kepalaku yang terasa nyeri. “Kau tak papa?” Tanya Taeyeon melepaskan pelukannya. “Maafkan aku telah meninggalkanmu tadi.” Sinar di wajahnya meredup, aku tidak sampai hati membiarkannya seperti itu.
Aku kembali memeluknya, “aku yang meninggalkanmu tadi. Maafkan aku.”
“Apa ada yang luka? Bagian mana yang sakit.” Aku tertawa kecil melihat wajah seriusnya mengamati diriku lekat-lekat.
“Aku tidak papa Taeyeon, hanya.. lelah.” Aku tersenyum, menyeka keringat di pelipisnya. “Apa yang terjadi denganku?”
“Aku tidak tahu, aku mencarimu berjam-jam lalu aku menemukanmu tergeletak di pinggir hutan, seperti ini.” Dia berdiri kemudian telentang di atas tanah, sedikit miring ke kanan lalu memejamkan mata. Imut. “Kau tahu, kau membuatku takut setengah mati!”
“Terima kasih telah menyelamatkanku.” Kataku sedikit tertawa.
Kulihat, ia membuka sesuatu dari balik punggungnya. “Ini. Beruntung tadi aku sempat membawanya.” Ia menyodorkan benda, seperti corong yang kurasa berasal dari daun jati yang lebar dan panjang. “Minum..”
Tanpa banyak berpikir, kusesap perlahan. Bunga sonia, namun rasanya sedikit manis dan menyengat, begitu kuat. Saat meminumnya, seluruh tubuhku terasa hangat dan baik, penuh energi.
Tahu-tahu saja aku sudah menghabiskan seluruh corong itu. Aku menatapnya, yakin bahwa aku baru saja meminum minuman panas, tetapi es batu di dalam corong itu bahkan belum meleleh.
“Enak?” tanya Taeyeon. Aku mengangguk.
“Rasanya seperti apa?” Dia terdengar begitu penuh damba, aku jadi merasa bersalah.
“Maaf,” kataku. “Semestinya aku menawarimu mencicipi.”
Matanya melebar. “Bukan! Bukan itu maksudku. Aku cuma… ingin tahu.”
“Bunga sonia yang hangat dan sangaaaat manis.”
“Oh, lalu bagaimana perasaanmu?” matanya bersinar.
“Cukup kuat untuk melempar pohon itu sejauh seratus meter.” Kataku sambil menunjuk pohon pinus yang berjarak lima puluh meter di sampingku.
“Bagus kalau begitu.” Ia tersenyum kemudian mengeluarkan tongkatnya, merapalkan beberapa mantera yang asing bagiku lalu corong itu menghilang. Aku mendapati bahwa tongkat Taeyeon tidak lagi berbentuk stylus. Melainkan seperti tongkat yang terbuat dari pohon Hawthorn. “Memang bunga sonia. Namun, aku pernah mendengar bahwa cairan dari hewan itu akan menyembuhkan manusia bahkan peri lebih cepat.” Dia menunjuk ke arah ujung pohon pinus, tepat pada sebuah benda berbentuk lonjong yang bergelantungan seolah akan terjatuh. Bentuknya seperti salah satu kubah gedung di Oberon City. “Sarang lebah. Apis” Lanjutnya.
“Benda yang bisa terbang dan menyengat itu?” Tanyaku sambil mengaggumi sarang tersebut seolah itu adalah benda yang dikeramatkan.
“Sejenis serangga, begitu manusia menyebutnya. Sangat berkhasiat, sayangnya tak banyak peri yang tahu bagaimana cara mengambilnya.”
“Dan kau bisa mengambilnya!” Tanpa sadar aku memekik.
“Mantera.” Katanya sambil menyeringai.
“Katakan, sudah berapa banyak yang kau hapal.” Aku mendesak, penuh harap.
“Kapan-kapan saja akan ku ajarkan, di perpustakaan rahasia.”
Perpustakaan rahasia? Kelihatannya menarik. “Aku belum pernah mendengarnya.”
“Sekarang, yang harus kita pikirkan adalah bagaimana cara kembali ke fairyland. Kurasa kita sudah terlalu jauh dan ditambah dengan keadaanmu yang seperti ini, aku ragu kita dapat menemukan portal ilegal itu dalam waktu dekat.”
Tiba-tiba suatu ide muncul di kepalaku. “Ladang jagung.”
Ia tampak berpikir, menggemaskan. “Kau yakin?”
“Lalu?”
“Baiklah.” Ia berdiri kemudian menjulurkan lengan untuk meraihku. “Kau dapat berjalan sendiri?”
Aku mengangguk sambil mencoba berjalan selangkah demi selangkah, mustahil aku dapat terbang lagi pula. Sayapku terlalu lemah untuk digerakkan.
*
Portal ladang jagung yang sunyi di Bumi itu membawa kami ke lorong kosong yang pendek dan berisik seolah segerombolan troll bersepatu kaleng sedang berbaris di balik dinding lorong itu. Di depanku Taeyeon berdiri di samping pintu tembaga di ujung lorong. “Kurasa ini Golden Station,” katanya. Dia meluruskan sayapnya lalu menarik pintu itu.
Hiruk-pikuk itu semakin menjadi-jadi. Ribuan peri, semuanya berbicara serempak, beterbangan ke ratusan tujuan dengan melintasi ruangan yang luas, sementara belasan pintu terbanting membuka dan menutup. Kurcaci yang sedang berbaris kelihatan berusaha untuk menjaga kerapian. Kami berada dalam Oberon City, di Golden Station, sebuah bangunan yang terbuat dari pualam berhiaskan emas.
Taeyeon beranjak ke gerbang melengkung di ujung ruangan. Aku terhalang oleh kurcaci berpunggung lebar, lalu menyalipnya hingga berada di belakang Taeyeon lagi. Taeyeon melewati kerumunan dengan anggun, tetapi sayapku sering kali menabrak peri berbahu lebar. Aku menggumamkan maaf.
Begitu tiba di luar, kami segera terbang. Taeyeon kelihatannya tahu harus ke mana. Dia terbang di depanku, dan kami melesat tinggi dan cepat.
Setibanya di gerbang Galena, kami masuk dengan sangat berhati-hati.
“Aman!” seru Taeyeon.
Sesuatu yang dingin memukul dadaku. Tiba-tiba aku merasa begitu lemah. Aku jatuh ke tanah. Taeyeon buru-buru mendekatiku, lalu duduk di sebelahku.
“Memang aman,” terdengar suara Prof Chan Yeol. Dia berdiri di samping salah satu pilar di dekat gerbang dengan menggenggam sebatang tongkat berujung besi kehitaman. Bukankah seharusnya ia berada di asrama?
Taeyeon mendelik padanya sebelum aku berhasil menjawab pertanyaanku sendiri. “Kau menggunakan kekerasan pada kami?”
Profesor Chan Yeol mengangkat tongkatnya. “Seharusnya kau dipukul lebih keras.”
“Tetapi mengapa?” Teriak Taeyeon. “Cepat atau lambat kami pun akan diizinkan untuk pergi dan pulang melalui gerbang itu.”
“Bukan hari ini.” Sahut Profesor dengan wajah muram.
Aku dapat melihat tanda-tanda Taeyeon sedang mengarang alasan untuk berbohong “Kami menyesal,” katanya. “karena kami terlambat pulang, tetapi itu karena kami ingin melihat-lihat Oberon City.”
Prof Chan Yeol memang terkenal akan kemampuannya mengendus kebohongan—kabarnya pengalamannya mengajar berpuluh-puluh tahun telah memungkinkan hidungnya mampu mengendus kebenaran. Oh, betapa aku berharap kali ini dia tidak mampu mengendus kebohongan Taeyeon.
Setelah hening sesaat, Profesor menjawab, “Aku tahu kalian dari mana.”
*
Continuandos…
~Ping! @fanytasy