FAIRYLAND Capitulo 9

Tag

, , ,

20112605456

written by  : Febry Fanytasy (FMS) @fanytasy

“Apa kau percaya dengan adanya peri dan penyihir? Baik, aku sangat mempercayainya. Namun, jika kau memercayai semua yang kau baca, lebih baik jangan membaca.”

Capitulo 9

Kata “Peri” telah disalahgunakan sepanjang sejarah penggunaan bahasa Inggris oleh bangsa manusia. Ada kepercayaan bahwa kata “Peri” adalah sebuah istilah lampau, muncul setelah masa pertengahan yang diartikan sebagai wanita-wanita jahat yang memiliki kekuatan sihir. Istilah Perancis“fai” berasal dari Bahasa latin “fatae” yang berarti “wanita-wanita peri yang mengunjungi sebuah rumah tangga pada saat ada peristiwa kelahiran dan meramalkan masa depan dari si bayi, seperti yang dilakukan oleh tiga takdir (Three fates). Kata “Peri” sebenarnya berarti “fat-erie” , seperti “state of enchanment and that transferred from the object to the agent”.

Leona Lovegood, ahli sejarah Feyland.

Angin dingin menyambutku di sisi lain portal. Mendung tebal menggelayut di angkasa Bumi, tak setitik pun berkas berwarna biru di langit. Aku dan Taeyeon semakin dekat dengan kota manusia, kami sepakat menyusuri jalan setapak yang membelah hutan.

Entah ada angin apa, Taeyeon tiba-tiba saja mengajakku kembali ke Bumi selepas pelajaran pengamatan Bumi tadi siang. Katanya, akan lebih baik jika kita dapat mengamati Bumi secara praktikal dari pada harus mempelajari teori pengamatan dari kejauhan, sialnya aku selalu sependapat dengannya.

Hutan itu berakhir pada ujung jalan yang melingkari sebuah lapangan rumput hijau terang yang terpangkas pendek. Di tengah-tengah lapangan ada taman bermain. Pasir di tebarkan di bawah menara-menara panjatan berwarna merah dan biru, mengingatkan aku pada Galena. Anak-anak manusia berlarian dan berloncatan di atas menara itu seolah mereka berharap sayap akan tumbuh pada tubuhnya.

Kami terpana oleh pemandangan yang kami lihat, Taeyeon dan aku berdiri di bawah pohon kapas yang teduh.

“Agak terlalu awal untuk merayakan Halloween, bukan, anak-anak?” suara itu berasal dari arah bahu kiriku.

Dengan terkejut, aku menoleh ke arah seorang perempuan bertopi lebar berwarna beidge dan berpakaian hijau. Kedua lengannya memegangi kereta dorongan kecil berisi bayi manusia yang sedang tidur. “Aku suka sekali pada kostummu,” katanya, “dan riasan wajahmu seperti bukan dari sini.”

Mataku berkejap. Seperti apa pun bayanganku tentang manusia, tidak akan seperti ini.

“Kain yang mengaggumkan,” dia melanjutkan sambil membelai lengan bajuku. “Aku belum pernah melihat kain seperti ini. Ini kelihatannya tipis sekali, tetapi ternyata tidak. Di mana belinya?”

Kemudian dia meraba salah satu sayapku. “Wow,” dia melanjutkan, dengan sembrono membelai tepiannya. “Di mana kau mendapatkan bahan seperti ini?” Dia mengangkat sebagian sayapku ke dekat wajahnya. “Begitu halus dan lembut, tetapi kelihatannya kuat. Dan ada urat-uratnya! Betul-betul sentuhan yang indah. Kau seperti kupu-kupu raksasa.”

Sepertinya dia tidak sadar bahwa kami tidak menjawab satupun pertanyaannya.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu, sepertinya di kelas pernah diajarkan bahwa jika peri ingin pergi ke dunia manusia, maka ia harus bertransformasi menjadi sebuah kupu-kupu, namun sialnya aku tidak sempat menghafal manteranya. Aku menatap Taeyeon lama, berharap ada peri Ungu selain aku yang menghafal mantera ‘kamuflase’ tersebut. Namun, ia tampaknya tak menangkap radarku dengan benar. Hal itu tergambar jelas dalam raut wajahnya.

“Aku senang menjahit,” perempuan itu melanjutkan. “Apa kau memesan kostum ini?”

“Mmm,” aku menggumam.

“Apa kalian akan bermain drama?” tanyanya kemudian.

Aku menggelengkan kepalaku.

Entah apa yang akan terjadi kemudian, seandainya bayi yang tidur di dalam keretanya itu tidak terbangun dan mulai menangis.

“O, jangan menangis, Sayang,” kata perempuan itu dengan suara mendayu, lalu melepaskan pegangannya pada sayapku, dan membungkuk untuk mengusap kepala bayinya.

Bayi itu justru melengking.

“Baiklah, ayo kita pulang.” Kata perempuan itu sambil menegakkan punggungnya. “Oke, anak-anak, daaaaaaahh… kostum kalian bagus!” Begitu perempuan itu beranjak, tangisan bayi itu pun berhenti.

Ketika melihatnya pergi, aku melihat seorang remaja putri jakung berambut merah kecoklatan, entah mengapa wajahnya tampak familiar. Matanya bercahaya ketika melihat kami, ia tersenyum.

Aku mundur kembali memasuki hutan sambil berharap Taeyeon segera menyusulku supaya kami bisa pergi bersama. Harusnya kami tidak datang ke sini. Harusnya tidak sekarang, tidak di siang bolong begini, apalagi di tempat terbuka. Bumi pada malam hari akan lebih aman. Bagaimana jika kejadian ini ketahuan di Fairyland?

Dengan gelisah, aku memandang arena bermain itu, ke kelompok anak-anak yang berjarak dua puluh rentangan sayap. Seorang gadis kecil dengan kepang merah berdiri di pinggir anjungan. Anak lelaki berambut hitam di belakangya mengayun-ayunkan lengan, mengenai bahu anak perempuan itu. Gadis kecil itu terjatuh.

Tanpa berpikir panjang, aku melayang ke sana dengan kecepatan yang belum pernah kulakukan, dan menangkap gadis cilik itu sebelum dia terempas ke tanah. Aku meletakkannya sebelum aku menyadari tindakanku.

Gadis itu menatapku dengan mata birunya yang bundar. “Kau bisa menangkapku?” teriaknya lalu melambaikan tangannya pada seseorang di belakangku. “Nickhun!” dia berseru. “Niiiiiccckkk!”

Anak-anak lain yang sedang bermain di arena bermain itu mulai berteriak-teriak, “Peri!” Mereka saling bertubrukan ketika berusaha meraihku.

Bocah lelaki berambut hitam itu meluncur turun melalui sebuah tonggak, lalu menangkap sayap kananku dengan kedua tangannya, dan memelintirnya. “Ini benar-benar peri!” teriaknya. “Ayo kita tangkap!”

Aku berusaha untuk mundur tetapi bocah itu menyeringai, dan tetap memegangiku kuat-kuat.

“Hei!” suara di belakangku berteriak. “Lepaskan!”

Seorang pemuda menepis anak-anak yang mengelilingiku dan membuat bocah laki-laki itu melepaskan cengkeramannya pada sayapku.

Manusia baru itu berambut coklat dengan mata senada. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya.

Aku tidak bisa bicara. Masih terpana dengan kejadian barusan.

Dia berpaling ke arah gadis cilik berkepang itu. “Ada apa tadi, Victoria?”tanyanya.

“Peri itu menyelamatkanku,” jawabnya.

Aku tidak dapat menjelaskan apa yang kulakukan setelah itu. Alih-alih berterima kasih kepada pemuda itu, aku justru terbang tinggi. Aku melayang-layang sesaat untuk mencari Taeyeon sementara anak-anak kecil itu berteriak dan melompat sambil menunjuk-nunjuk.

“Nick~,” rengek gadis kecil itu, “jangan biarkan dia pergi.”

Aku tidak melihat Taeyeon. Apa dia bersembunyi di balik pepohonan?

Aku memutar tubuh,  lalu terbang. Napasku tersengal dan sayapku terasa lemah apa yang terjadi barusan? Nickhun berlarian di bawahku sambil memegangi suatu benda kecil berwarna merah di depan wajahnya.

*

Ketika aku membuka mata, kurasakan sesuatu yang hangat menyentuh tubuhku. Sepasang sayap ungu mengepak-ngepak saat aku mengadahkan kepalaku yang terasa nyeri. “Kau tak papa?” Tanya Taeyeon melepaskan pelukannya. “Maafkan aku telah meninggalkanmu tadi.” Sinar di wajahnya meredup, aku tidak sampai hati membiarkannya seperti itu.

Aku kembali memeluknya, “aku yang meninggalkanmu tadi. Maafkan aku.”

“Apa ada yang luka? Bagian mana yang sakit.” Aku tertawa kecil melihat wajah seriusnya mengamati diriku lekat-lekat.

“Aku tidak papa Taeyeon, hanya.. lelah.” Aku tersenyum, menyeka keringat di pelipisnya. “Apa yang terjadi denganku?”

“Aku tidak tahu, aku mencarimu berjam-jam lalu aku menemukanmu tergeletak di pinggir hutan, seperti ini.” Dia berdiri kemudian telentang di atas tanah, sedikit miring ke kanan lalu memejamkan mata. Imut. “Kau tahu, kau membuatku takut setengah mati!”

“Terima kasih telah menyelamatkanku.” Kataku sedikit tertawa.

Kulihat, ia membuka sesuatu dari balik punggungnya. “Ini. Beruntung tadi aku sempat membawanya.” Ia menyodorkan benda, seperti corong yang kurasa berasal dari daun jati yang lebar dan panjang. “Minum..”

Tanpa banyak berpikir, kusesap perlahan. Bunga sonia, namun rasanya sedikit manis dan menyengat, begitu kuat. Saat meminumnya, seluruh tubuhku terasa hangat dan baik, penuh energi.

Tahu-tahu saja aku sudah menghabiskan seluruh corong itu. Aku menatapnya, yakin bahwa aku baru saja meminum minuman panas, tetapi es batu di dalam corong itu bahkan belum meleleh.

“Enak?” tanya Taeyeon. Aku mengangguk.

“Rasanya seperti apa?” Dia terdengar begitu penuh damba, aku jadi merasa bersalah.

“Maaf,” kataku. “Semestinya aku menawarimu mencicipi.”

Matanya melebar. “Bukan! Bukan itu maksudku. Aku cuma… ingin tahu.”

“Bunga sonia yang hangat dan sangaaaat manis.”

“Oh, lalu bagaimana perasaanmu?” matanya bersinar.

“Cukup kuat untuk melempar pohon itu sejauh seratus meter.” Kataku sambil menunjuk pohon pinus yang berjarak lima puluh meter di sampingku.

“Bagus kalau begitu.” Ia tersenyum kemudian mengeluarkan tongkatnya, merapalkan beberapa mantera yang asing bagiku lalu corong itu menghilang. Aku mendapati bahwa tongkat Taeyeon tidak lagi berbentuk stylus. Melainkan seperti tongkat yang terbuat dari pohon Hawthorn. “Memang bunga sonia. Namun, aku pernah mendengar bahwa cairan dari hewan itu akan menyembuhkan manusia bahkan peri lebih cepat.” Dia menunjuk ke arah ujung pohon pinus, tepat pada sebuah benda berbentuk lonjong yang bergelantungan seolah akan terjatuh. Bentuknya seperti salah satu kubah gedung di Oberon City. “Sarang lebah. Apis” Lanjutnya.

“Benda yang bisa terbang dan menyengat itu?” Tanyaku sambil mengaggumi sarang tersebut seolah itu adalah benda yang dikeramatkan.

“Sejenis serangga, begitu manusia menyebutnya. Sangat berkhasiat, sayangnya tak banyak peri yang tahu bagaimana cara mengambilnya.”

“Dan kau bisa mengambilnya!” Tanpa sadar aku memekik.

“Mantera.” Katanya sambil menyeringai.

“Katakan, sudah berapa banyak yang kau hapal.” Aku mendesak, penuh harap.

“Kapan-kapan saja akan ku ajarkan, di perpustakaan rahasia.”

Perpustakaan rahasia? Kelihatannya menarik. “Aku belum pernah mendengarnya.”

“Sekarang, yang harus kita pikirkan adalah bagaimana cara kembali ke fairyland. Kurasa kita sudah terlalu jauh dan ditambah dengan keadaanmu yang seperti ini, aku ragu kita dapat menemukan portal ilegal itu dalam waktu dekat.”

Tiba-tiba suatu ide muncul di kepalaku. “Ladang jagung.”

Ia tampak berpikir, menggemaskan. “Kau yakin?”

“Lalu?”

“Baiklah.” Ia berdiri kemudian menjulurkan lengan untuk meraihku. “Kau dapat berjalan sendiri?”

Aku mengangguk sambil mencoba berjalan selangkah demi selangkah, mustahil aku dapat terbang lagi pula. Sayapku terlalu lemah untuk digerakkan.

*

Portal ladang jagung yang sunyi di Bumi itu membawa kami ke lorong kosong yang pendek dan berisik seolah segerombolan troll bersepatu kaleng sedang berbaris di balik dinding lorong itu. Di depanku Taeyeon berdiri di samping pintu tembaga di ujung lorong. “Kurasa ini Golden Station,” katanya. Dia meluruskan sayapnya lalu menarik pintu itu.

Hiruk-pikuk itu semakin menjadi-jadi. Ribuan peri, semuanya berbicara serempak, beterbangan ke ratusan tujuan dengan melintasi ruangan yang luas, sementara belasan pintu terbanting membuka dan menutup. Kurcaci yang sedang berbaris kelihatan berusaha untuk menjaga kerapian. Kami berada dalam Oberon City, di Golden Station, sebuah bangunan yang terbuat dari pualam berhiaskan emas.

Taeyeon beranjak ke gerbang melengkung di ujung ruangan. Aku terhalang oleh kurcaci berpunggung lebar, lalu menyalipnya hingga berada di belakang Taeyeon lagi. Taeyeon melewati kerumunan dengan anggun, tetapi sayapku sering kali menabrak peri berbahu lebar. Aku menggumamkan maaf.

Begitu tiba di luar, kami segera terbang. Taeyeon kelihatannya tahu harus ke mana. Dia terbang di depanku, dan kami melesat tinggi dan cepat.

Setibanya di gerbang Galena, kami masuk dengan sangat berhati-hati.

“Aman!” seru Taeyeon.

Sesuatu yang dingin memukul dadaku. Tiba-tiba aku merasa begitu lemah. Aku jatuh ke tanah. Taeyeon buru-buru mendekatiku, lalu duduk di sebelahku.

“Memang aman,” terdengar suara Prof Chan Yeol. Dia berdiri di samping salah satu pilar di dekat gerbang dengan menggenggam sebatang tongkat berujung besi kehitaman. Bukankah seharusnya ia berada di asrama?

Taeyeon mendelik padanya sebelum aku berhasil menjawab pertanyaanku sendiri. “Kau menggunakan kekerasan pada kami?”

Profesor Chan Yeol mengangkat tongkatnya. “Seharusnya kau dipukul lebih keras.”

“Tetapi mengapa?” Teriak Taeyeon. “Cepat atau lambat kami pun akan diizinkan untuk pergi dan pulang melalui gerbang itu.”

“Bukan hari ini.” Sahut Profesor dengan wajah muram.

Aku dapat melihat tanda-tanda Taeyeon sedang mengarang alasan untuk berbohong “Kami menyesal,” katanya. “karena kami terlambat pulang, tetapi itu karena kami ingin melihat-lihat Oberon City.”

Prof Chan Yeol memang terkenal akan kemampuannya mengendus kebohongan—kabarnya pengalamannya mengajar berpuluh-puluh tahun telah memungkinkan hidungnya mampu mengendus kebenaran. Oh, betapa aku berharap kali ini dia tidak mampu mengendus kebohongan Taeyeon.

Setelah hening sesaat, Profesor menjawab, “Aku tahu kalian dari mana.”

*

Continuandos…

~Ping! @fanytasy

FAIRYLAND Capitulo 8

Tag

, , , , , , ,

20112605456

written by  : Febry Fanytasy (FMS) @fanytasy

“Apa kau percaya dengan adanya peri dan penyihir? Baik, aku sangat mempercayainya. Namun, jika kau mepmercayai semua yang kau baca, lebih baik jangan membaca.”

Capitulo 8

Sayap peri diperkuat dengan sihir, tanpa kekuatan sihir itu sayap peri tidak akan kuat untuk membawanya terbang, dan kaki peri pun tidak akan kuat untuk menopangnya. Tetapi semua peri bisa terbang, apa pun tingkat dan warna mereka. Ini adalah kegiatan yang tidak mengurangi radia.

Leona Lovegood, ahli sejarah Feyland.

Teman-teman sekelasku keluar dari laboratorium tanaman sihir kemudian masuk melewati halaman pualam yang dibatasi dengan taman berornamen, yang merupakan tanaman terindah di Feyland. Pelajaran selanjutnya adalah Pengamatan Bumi nama mata pelajaran yang sangat aneh, namun aku tidak dapat menyembunyikan rasa bahagiaku saat mendengar kata ‘bumi’ walaupun hanya sebatas mengamati dari dunia kami. Beberapa dari kami melihat bunga aster kuning atau lili ungu yang langka dipajang di antara mutu manikam yang diasah kasar. Kami tidak memperhatikan bunga-bunga itu, dan terus saja berjalan bersama.

“Aku peringatkan kalian untuk terakhir kalinya,” kata Profesor Chan Yeol mengingatkan kami. “Jangan coba-coba menggunakan kekuatan sihir degan tongkat sebelum mendapatkan petunjuk dari mentor kalian.”

“Untuk terakhir kalinya?” Gumam Jessica di sebelahku. “Aku yakin itu artinya adalah kedua puluh ribu lima ratus enam puluh dua terakhir kalinya.”

Kebetulan Yuri melayang di sampingku, tetapi di pintu gerbang dia berhenti. “Kau duluan, Tiffany,” katanya, matanya berkilauan seperti batu zamrud di belah dua.

Meluncur melewati pilar-pilar ajaib yang melindungi Galena, aku tidak dapat menghentikan getaran sayapku. Aku kelewat gembira.

Kami semua terpaksa menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk dapat memasuki ruang pengamatan yang terletak di menara paling atas gedung sekolah Galena. Di dalam sana terdapat puluhan teropong yang dapat digunakan untuk melihat bentuk bumi dari negeri Fairyland.

Perofesor Chan Yeol mengatakan bahwa teropong itu dulunya diciptakan oleh leluhur Feyland yang tergila-gila oleh bumi. Selain untuk mengamati para anak asuh peri di bumi, teropong ini juga di gunakan untuk memonitoring kegiatan seluruh peri yang sedang berada di bumi. Aku bersyukur karena tidak ada yang mendapati aku dan Taeyeon berada di bumi malam itu.

Begitu aku melewati gerbang dan memasuki ruangan pengamatan, guru kami, Prof Chan Yeol, memerintahkan kami untuk berjalan kaki, seperti biasanya.

Kaki kami menyentuh lapisan batu granit yang keras. Kami melihat hamparan gedung-gedung megah yang menjulang tinggi dari kaca jendela. Wah, hebat sekali gedung-gedung itu! Dari atas sini kami dapat melihat kubah-kubah indah menjulang di sekitar kami, perak, emas, platina, dan tembaga berkilauan. Di antara kubah-kubah itu aku dapat melihat menara-menara kokoh bertabur mutu manikam.

Profesor Chan Yeol memandu kami melalui sebuah gerbang melengkung dari pualam dan memasuki sebuah stasiun pengamatan yang di penuhi oleh peri-peri dan satu dewa, dari seragam yang mereka kenakan sepertinya mereka adalah murid-murid dari asrama Air (Udara).

Aku terus berjalan sampai seorang peri yang jika ia berdiri di hadapanmu, yang dapat kau lihat hanya pundaknya saja. Kurasakan dingin merasuk dari seragamku dan menyentuh kulitku. Aku mendongak, melihat seorang peri tinggi berwarna biru tersenyum penuh sesal.

“Maaf, aku tidak sengaja.” Ia menunduk dalam sambil meletakkan gelas berisi minuman yang tidak sengaja tumpah dan membasahi sebagian seragamku, dari aromanya kurasa itu adalah jus bunga orchid. “Akan kubersihkan.”

Kemudian ia mengeluarkan sapu tangan berwarna senada dengan rambutnya dan mengusapkannya di bagian kerahku. “Sekali lagi aku minta maaf.” Ia kembali menunduk.

“Tidak masalah.” Aku tersenyum ke arahnya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil sapu tangan itu. “Biar aku yang melakukannya.”

“Anio.. Aku yang bersalah, aku yang akan membersihkannya.” Ia kembali mengusap kerahku. Tak beberapa lama setelahnya. Ia terkesiap. Kurasa ia tidak sengaja melihat kalungku. Kalung Ungu-ku.

Ia berhenti sejenak, menatapku tidak percaya kemudian membungkuk sangat dalam. “A—aku benar-benar minta maaf.”

Untuk beberapa saat, ingin sekali rasanya aku membuang kalung ini. Sempat aku berpikir bahwa menjadi peri Ungu tidaklah menyenangkan, sama—sekali. Melihat semua orang yang ingin kau ajak untuk bersahabat, justru mereka memperlakukanmu seolah kau adalah permata yang jika jatuh akan pecah berkeping-keping padahal dalam kenyataannya malah sebaliknya, kau adalah peri terkuat yang pernah ada. Hal itu menyebalkan, dan aku benar-benar sebal sekarang.

“Sudah kubilang tidak masalah, ini hanya kecelakaan,” kuberikan senyum terbaikku berusaha untuk terlihat sangat bersahabat.

“Ya! Shikshin, apa yang kau lakukan dari tadi di sana?” Seorang peri kuning datang menghampirinya, wajahnya begitu cantik seperti berlian. “Profesor SuHo dan yang lainnya sudah menunggu di bawah,”

“Kurasa aku harus segera pergi, sekali lagi aku minta maaf.”

“Ya! Apa yang sudah kau lakukan? Lagi-lagi kau menumpahkan makananmu ya?” Peri cantik itu sekarang berdiri di depanku, melotot ke arah peri biru itu.

“Minuman. Dan aku tidak sengaja.”

“Ck.. sudah kubilang, hati-hati membawanya.” Ia berbalik ke arahku kemudian berkata. “Maafkan dia ya, terkadang shikshin ini memang perlu diajari untuk membawa makanannya dengan benar.” Ia tersenyum ramah, membuat wajah berkilaunya semakin bersinar.

“Sudah kubilang, minuman!” Protes peri biru itu.

“Tidak masalah, aku juga ceroboh karena tidak melihat ada peri yang lewat di depanku.” Aku membalas senyumnya.

“Maaf, tapi kami harus segera pergi.” Mereka berbalik sebelum kutarik lengannya.

“Bolehkah aku tahu nama kalian?” Dari ekor mataku, kulihat Jessica dan Yuri sudah kesal menunggu di dekat bilik pertama sambil berkecak pinggang.

“Aku Im Yoon Ah, dan shikshin ini bernama Choi Sooyoung.”

“Aku Tiffany Hwang, senang bertemu kalian.”

“Kami sudah tahu, senang bertemu dengan peri sepertimu Tiffany.” Kata peri tinggi itu sebelum berjalan menuruni tangga. “Sampai bertemu kembali.”

*

Seperti anak-anak balita melihat asap berwarna, kami menatap dengan terpesona. Bilik-bilik dari kristal sebening air hujan termurni, menjorok keluar dari dinding barat. Setiap bilik berisi sebuah teropong, sebuah alat ajaib yang dapat melihat bumi dari dunia kami. Kami disini diizinkan melihat untuk pertama kalinya tanah antah berantah yang didiami manusia. Walaupun, bagiku ini terhitung kedua kalinya aku melihat bumi. Kami juga akan melihat ibu peri, yang menjaga bayi-bayi manusia dan memberikan hadiah atas kelahiran mereka.

Yuri berada di depanku. Aku melihatnya melangkah memasuki sebuah bilik lalu menempelkan matanya pada teropong, sementara Profesor Chan Yeol berdiri di dekatnya sambil tersenyum.

Beberapa saat kemudian, Profesor Chan Yeol melambaikan tangannya ke arahku. Dengan lembut aku menekankan dahi pada tempat yang sudah disediakan di atas mata teropong itu. Selama beberapa saat, aku hanya melihat pohon-pohon dan langit. Sambil mengamatinya aku merasakan dorongan aneh untuk melompat keluar dari bilik dan mencari portal menuju bumi. Aku ingin kembali melayang ke langit itu, serta menyentuh dedaunan itu dengan ujung jemariku.

“Carilah bayi yang akan kau amati di Bumi, Tiffany.” Kata Profesor Chan Yeol di telingaku. Bisa tidak sih dia berada jauh dari bilik ini?

Aku menyentuh sebuah tombol yang menyalakan sederetan petunjuk ke arah sesosok bayi manusia terbungkus selimut lembut berwarna kuning. Kulit bayi itu cokelat, sedikit lebih terang daripada kulit Yuri, rambutnya seperti gumpalan jerami lurus mirip rambut kurcaci. Kelihatannya manusia tidak punya banyak pilihan dalam hal warna kulit dan rambut. Aku melihat mata bayi itu bercahaya, kaki kecilnya menendang-nendang, dan jemari mungilnya merapat membentuk kepalan kecil.

Sebuah genta berdentang menandakan kesempatan yang membawaku ke sini untuk mengamati: pemberian sifat kepada bayi manusia—kesempatan bagiku untuk melihat sosok ibu peri beraksi.

Aku melihat sebuah hadiah bergerak turun mengambang seperti kabut, lalu mendarat pada kulit bayi itu. Walaupun aku tidak ingin tahu, tetapi kekuatan sihirku mengatakan kepadaku bahwa hadiah yang akan dimiliki bayi itu adalah perasaan ingin tahu yang tidak terlalu besar.

Mata bayi itu meredup.

Aku tidak mengerti. Mengapa ibu peri tersebut memberikan hadiah semacam itu? Bagiku itu bukan hadiah sama sekali, bahkan lebih mirip sebuah kutukan yang merampas kebaikan.

Aku menyipitkan mata, kulihat ibu peri bayi itu bertengger di sana. Wajah pipihnya berpaling dari anak walinya tanpa menengok lagi ke belakang. Sebelum ia pergi, dengan jelas aku melihat rambutnya yang berwarna kunyit di kepang dengan untaian pengantin. Ujung hidung rampingnya turun, dan sayapnya putih.

Sikuku menyentuh pipa teropong sehingga aku tidak dapat melihat bayi itu lagi. Aku mencoba untuk melihatnya lagi. Teropong itu bergerak-gerak dan selanjutnya aku melihat gambar seorang remaja putri yang kira-kira sebaya denganku. Warnanya sangat mencolok, sehingga bisa saja dia sebenarnya peri: rambut merah kecoklatan yang menyala seperti api, mata seperti kacang hazel dengan cahaya kekuningan. Teropong itu menangkapnya tepat ketika dia sedang menatap ke arahku juga. Aku terlonjak, menabrak teropong itu hingga terjatuh.

Wajah berkulit kelabu Prof. Chan Yeol mengerut ketika bibirnya membentuk seringai yang sudah kukenal.

“Kau akan terbiasa dengan pemandangan seperti itu,” katanya.

Itu merupakan kebohongan terbesar yang pernah diucapkan kepadaku.

Continuandos…

F.N : open to advice and criticism 🙂

~Ping!

FAIRYLAND Capitulo 7

Tag

, ,

20112605456

written by  : Febry Fanytasy (FMS)

“Apa kau percaya dengan adanya peri dan penyihir? Baik, aku sangat mempercayainya. Namun, jika kau mepmercayai semua yang kau baca, lebih baik jangan membaca.”

Capitulo 7

Portal diperlukan untuk melewati batas antara Feyland dengan bumi. Pintu utama perlintasan ada di Golden Station di Oberon City. Portal-portal yang mengarah ke dan dari stasiun ini kerap digunakan oleh penduduk yang memiliki tingkat sihir 3 atau yang lebih tinggi. Portal-portal lainnya tidak tampak jelas, dan hanya sedikit yang mengetahuinya, selain itu lokasinya pun dijaga ketat. Portal-portal itu dibuat dengan satu tujuan saja yaitu untuk menyelundupkan barang-barang manusia ke dalam Feyland. Portal-portal seperti itu melanggar hukum.

Leona Lovegood, ahli sejarah Feyland.

Taeyeon melayang-layang di depanku sambil menyeringai. Aku melihat lagi ke batu alam yang besar itu. Pada sisi Bumi, batu itu kelihatan seperti yang terlihat dari Feyland: batu alam yang besar dan tidak mencolok dalam rumpun tumbuhan zinnia. Bedanya, di sini batu besar itu berdiri di tengah-tengah lapangan terbuka dengan hamparan rumput keemasan di sisi bukit.

Taeyeon terbang berputar-putar, sayapnya terbentang ke arah langit.

Aku menatapnya, “Sayapmu bercahaya.” Ia tersenyum.

Aku melihat ke sekelilingku. Ke arah barat, kaki bukit menciptakan garis bergelombang dengan latar belakang langit. Pada sisi yang lain, padang berumput tinggi itu dibatasi dengan sederetan pohon. Di belakangnya, aku dapat melihat bangunan-bangunan sebuah kota manusia.

“Ayo kita melihat-lihat.” Kata Taeyeon.

“Kau bilang tadi mau bercerita kenapa kau bisa tahu tentang portal ini.”

Taeyeon mengangkat dagunya. “Aku pernah mengikuti seseorang suatu malam.”

“Ia menggunakannya?”

Taeyeon mengangguk. “Kurasa dia yang membuat portal ini.” Taeyeon mengembangkan sayapnya. “Ayo kita melihat-lihat,” katanya lagi.

Kami tahu peri tidak boleh terbang ketika berkunjung ke Bumi, tetapi rasanya sangat menyenangkan bisa terbang! Aku sangat senang melayang dengan leluasa di atas bumi dengan cahaya bulan dan angin sepoi-sepoi mengisi sepasang sayapku.

*

Taeyeon dan aku semakin dekat dengan kota manusia, jadi kami berhenti terbang dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki di jalan setapak yang melingkar menembus rumput liar ke arah pepohonan. Walaupun aku sangat mengaggumi Bumi, aku juga merasa agak takut.

“Kenapa?” Tanya Taeyeon.

“Tidak apa-apa.” Aku masih belum siap membicarakan pada siapapun tentang kedua orang tuaku. Tujuh tahun itu lama, kan?

Aku senang ketika jalan setapak itu memasuki hutan. Aku berhenti untuk memeluk sebuah pohon. Setiap daunnya yang tumbuh di tempat rendah seakan-akan dipangkas oleh seseorang seniman selama berjam-jam. Aku mengenali bentuknya—ini pohon mapple. Aku menempelkan pipiku pada kulit pohonnya dan menghirup aromanya. Kayunya beraroma seperti rempah-rempah. “Kau cantik,” gumamku.

Taeyeon tertawa. “Pohon tidak bisa bicara.”

“Aku tahu.”

“Pohon tidak berbahaya, tetapi hati-hati dengan manusia,” katanya, menirukan lagak Prof Key dengan sangat mirip. “Mereka bisa menjadi sangat berbahaya dari pada troll, betul-betul tidak bisa diduga kelakuannya. “Matanya berkilauan.

Aku berjalan perlahan di antara pepohonan sambil mengenang ibuku yang hampir tidak pernah kulakukan sebelumnya. Ibuku adalah peri yang berwarna-warni. Rambutnya yang putih lembut, kulitnya yang ungu muda, dan sayapnya yang kuning tua hampir emas sepertiku. Matanya dalam dan liar, seperti badai.

Mengapa manusia membunuhnya?

Aku terbang tanpa arah di atas kota manusia. Aku melayang beberapa menit sebelum disusul oleh Taeyeon. Matahari sudah hampir menampakkan dirinya, aku harus menyipitkan mata untuk tidak silau melihat Taeyeon. Tidak jauh dibelakangku, aku melihat sayapnya seperti bekas-berkas sinar keungunan di langit.

Setelah kami sudah dekat, kulihat wajahnya berseri-seri. “Aku ingin tahu sudah berapa banyak hukum yang kita langgar? Kusangka kau peri yang manis. Siapa sangka kau berani terbang di dunia manusia? Bersamaku? Hahaha.” Dia meluncur di sampingku sambil tertawa.

Aku merasakan mukaku semakin memanas saat kata ‘manis’ itu keluar dari mulutnya. Dia mengira aku manis? Gadis yang manis? Jantungku berdebar-debar. “Em—boleh aku bertanya sesuatu?”

“Yeah, katakan..”

“A—apa sebenarnya yang kau cari disini?” Aku mengernyitkan mata.

Senyumnya hilang, “kau memang pintar Hwang, aku ingin bersahabat dengan manusia.” Jawabnya dengan tenang namun tajam.

Seketika tubuhku gemetar, ia tak mengatakan yang sejujurnya. Aku tahu, aku dapat merasakannya. “Mengapa kau ingin bersahabat dengan manusia?”

“Karena mereka unik, jadi aku ingin lebih mengenal mereka.”

“Kupikir, tadi kau berkata mereka berbahaya?” Walau sulit kuakui, aku merasa sedikit kecewa dengan ucapannya, tak hanya dengan kebohongannya namun juga dengan semua hal tentang manusia yang membuatku membenci makhluk itu.

“Aku ingin tahu mengapa mereka berbahaya.”

Pada usia kami, menjalin hubungan dengan manusia, apapun bentuknya, sangatlah terlarang.

Sambil mencoba menenangkan diri, aku melayang ke bawah dan mendarat di sebuah ladang jagung di pinggir kota.

Aku ingat kami pernah belajar tentang ladang jagung, sehingga aku tahu bahwa jagung adalah sumber makanan dan bahan penting bagi manusia. Tetapi berada di ladang jagung yang sesungguhnya sama sekali berbeda dengan tertulis di dalam buku. Aku berdiri di tengah –tengah taman hijau yang pucuk-pucuknya dihiasi rambut sehalus sutra. Kupegang batangnya. Aroma hangat dan manis menguar dari jagung itu.

Taeyeon meluncur turun di sampingku. “Kita harus pulang. Prof Chanyeol pasti mencarimu.”

Baiklah, dan sekarang gara-gara aku terbang tanpa tujuan, kami berada jauh sekali dari portal menuju Galena. Aku terbang ke arah yang salah. Sekarang, pastilah kami berada berkilometer jauhnya di sebelah timur dari tempat kami mendarat di bumi tadi.

Sudah berapa lama kami pergi dari asrama? Matahari sudah semakin meninggi seperti membakar langit bagai api ajaib. Sebentar lagi akan terang.

Ketika menatap cakrawala yang hampir seperti terbakar, aku melihat kerlip cahaya di tepi ladang jagung. Aku meluncur ke titik cahaya itu.

Batang-batang jagung telah di rebahkan dan membentuk lingkaran sempurna seolah setiap batang jagungnya di beri cahaya tambahan. Jejak kaki mengarah ke luar lalu berhenti.

Aku memanggil Taeyeon dengan lambaian tanganku. “Tadi ada makhluk gaib disini.”

Mata Taeyeon membelalak. “Kurasa itu portal lain.”

“Mungkin. Tetapi mengapa yang satu ini sangat jelas bentuknya sedangkan yang tadi hanya seperti batu besar saja?”

Taeyeon mengernyit. “Aku tidak yakin manusia mengerti ini sebetulnya apa.” Ia meluncur mendekatinya. “Kurasa ini portal resmi.”

“Resmi?”

Taeyeon mengagguk sebelum kembali menghampiriku. “Kita akan mencari tahu kembali besok. Sekarang saatnya kita pulang sebelum matahari semakin tinggi. Tidakkah kau pikir ini masih terlalu awal untuk tahun hukuman?” Ia tersenyum lalu berjalan mendahuluiku.

Aku hanya mengagguk saja dan mengikutinya. Kami melanjutkan sisa perjalanan dalam diam.

“Kenapa?” Dia berhasil membuatku terkesiap.

“A—apa maksudmu?” Aku berdalih sambil memalingkan muka.

“Jangan berpikir aku tidak mengetahuinya, mengapa kau menatapku seperti itu sepanjang perjalanan?” Kata-katanya halus dan tajam.

Aku terperangah sambil memutar otak untuk mencari jawaban, mengapa dia begitu blak-blakan? Membuatku kaget saja. “Aku masih tidak percaya kita dapat berada di tempat ini.” Kucoba memaksakan senyum terbaikku.

“Buktinya kita bisa.” Dengan itu, ia tak terlihat lagi. Aku mengikutinya dan tak lama kemudian menghilang di balik batu besar.

*

Continuandos…

F.N :
You can go follow @fanytasy and bombard me with many silly questions. ^^

FAIRYLAND Capitulo 6

Tag

, ,

20112605456

written by  : Febry Fanytasy (FMS)

“Apa kau percaya dengan adanya peri dan penyihir? Baik, aku sangat mempercayainya. Namun, jika kau mepmercayai semua yang kau baca, lebih baik jangan membaca.”

Capitulo 6

Troll merupakan makhluk paling ditakuti di Feyland, walaupun ada kabar bahwa mereka suka berteman dan suka bersenang-senang ketika sedang berkumpul dengan sesamanya. Dengan perawakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peri yang paling jakung, kekuatan troll juga sebanding dengan sosok mereka. Makanan mereka adalah putch yang tumbuh dengan berlimpah di rawa swillich, kawasan yang sangat luas di negeri troll. Kabarnya, mereka juga tidak keberatan memakan makhluk hidup lainnya. Ada gunjingan bahwa troll juga mau memakan daging manusia, akan tetapi desas-desus ini belum terbukti kebenarannya. Negeri troll tertutup bagi pengunjung, dan karena itu sulit untuk mencari informasi tentang mereka secara langsung. Karakter troll yang paling menakutkan adalah, mereka sama sekali tidak bisa ditebak. Mereka memiliki sihir berlimpah, dan mereka tertutup sekali mengenai metode sihir yang digunakan.

Leona Lovegood, ahli sejarah Feyland.

“Maple,” kataku. “Upandos maple.” Dengan suara klik, gembok itu terbuka. Gerbang yang membentengi Galena akhirnya sedikit bergeser. Dan benarlah, perlahan gerbang itu terbuka semakin lebar.

“Hey, kau yakin?” Tanyaku sekali lagi dengan kaki yang gemetaran. Mataku masih mengawasi sekitar, kalau-kalau ada yang melihat kita berdua menyelinap keluar di tengah malam begini.

“Tidak pernah merasa seyakin ini.” Tangannya yang mungil menyentuh gerbang Galena yang terbuat dari platina itu hingga terbuka selebar dua rentangan sayap.

“Bagaimana jika kita ketahuan?” Aku masih gelisah dan bimbang. Ini adalah keputusan besar yang pernah kuambil. Sebelumnya aku hanyalah gadis biasa yang selalu menuruti apapun yang Ms. Jung katakan padaku.

“Tidak akan pernah.” Gesturnya tetap tenang. Kurasa pembawaan peri ini memang tenang.

“Bagaimana kau bisa seyakin itu?”

“Tentu saja karena aku pernah kesana sebelumnya.” Aku masih tak percaya, “Seorang diri.” Lanjutnya dengan ekspresi yang masih sama.

“Lalu, mengapa sekarang kau mengajakku?” Pertanyaan itu muncul begitu saja, baiklah dengan beribu peri yang ada di Galena, mengapa dia memilihku? Aku masih tidak yakin, apa karena dia tahu bahwa aku ini adalah peri Ungu?

“Karena kita berteman.”

“Kenapa kau tidak mengajak serta temanmu yang lain.” Sesekali kakiku tersandung bebatuan kecil di sepanjang jalan.

“Entahlah… Kurasa, aku tidak punya.”

“Maksudmu, kau tidak punya teman lain?”

“Kau adalah teman pertamaku.”

Aku masih ternganga mendengar jawabannya. Benarkah? Apakah dia begitu buruk hingga tidak pernah punya teman sebelumnya?

“La—lalu, kau tinggal sekamar dengan siapa?” Rasa penasaranku terus saja membombardirku untuk terus bertanya lebih.

“Sendiri.”

“Serius?”

“Yeah.. Aku mendapat kamarku sendiri, mengapa?”

“Apa karena kau peri Ungu?”

“Bukan. Apa kau juga menerima perlakukan yang sama karena kau peri Ungu?”

Aku menggeleng. Aku masih harus terjebak dengan Jessica sekalipun kenyataannya aku adalah peri ungu. Beberapa detik kemudian, barulah aku menyadari kebodohan pertanyaanku itu.

Aku masih terus memandangnya. Peri yang aneh, mysterius dan sulit ditebak. Namun hal itu justru semakin membuatku penasaran. Kami melanjutkan perjalanan menuju portal dalam diam.

Aku tahu, saat dia menemuiku di sudut gerbang kala itu akan mengubah hidupku, begitu juga dengan keputusanku ini.

**

 “Aku tahu ada sebuah portal ke Bumi,” katanya. “Sebuah portal yang dapat kita gunakan hari ini dan tidak akan ada yang tahu.”

“Hari ini?” tayaku dengan berkedip bingung.

Dia berbisik, “Portal itu ada di kebun sonia dekat air terjun.”

“Itu tidak mungkin!”

“Memang melanggar hukum, tapi bukan tidak mungkin,” kata Taeyeon.

“Dari mana kau tahu?” pekikku.

“Kau tidak percaya padak?” sahutnya sambil tersenyum.

“B—bukan begitu..”

“Percayalah padaku.”

Aku tidak dapat menolaknya, mata ungunya yang bersinar benar-benar berhasil membiusku. Sungguh, menawan.

**

Taeyeon menatapku, alisnya melengkung, lalu melayang ke arah sebongkah batu alam besar yang berjarak dua puluh rentangan sayap. Aku terbang dengan gemetar mengikutinya.

Batu besar itu ternyata batu alam yang biasa saja, tidak ada istimewanya. Tidak ada jalan kecil ke situ hanya berbagai tumbuhan bunga-bunga zinnia liar yang berwarna jingga dan kuning. Semakin dekat aku dengan batu itu, semakin jelas rasa aneh yang mendorongku untuk melewati saja batu besar tu dan melupakannya.

“Batu alam yang besar ini dilindungi dengan mantra,” bisik Taeyeon, “karena itu tidak ada anak-anak yang mau bermain di atasnya.”

“Mantra jangka panjang?” tanyaku sambil merasa kagum.

Dia mengangguk.

“Kau tahu dari mana?”

“Akan kuceritakan padamu setelah kita melewatinya.” Ia melihat ke sekeliling, lalu melangkah ke dalam batu itu, dan menghilang!

Perasaan bimbangku hanya berlangsung satu helaan napas panjang. Jujur saja, seandainya ada yang mengatakan kepadaku bahwa portal itu akan mengubahku menjadi troll atau memaksaku untuk hidup di antara lima belas jembalang selama sepuluh tahun, aku masih tetap bersedia melewatinya.

*

Continuandos…

Go follow : @fanytasy for more information and keep in touch.

FAIRYLAND Capitulo 5

Tag

, , , , , ,

20112605456

written by  : Febry Fanytasy (FMS)

“Apa kau percaya dengan adanya peri dan penyihir? Baik, aku sangat mempercayainya. Namun, jika kau mepmercayai semua yang kau baca, lebih baik jangan membaca.”

Capitulo 5

Feyland secara yuridis diperintah oleh Raja Oberon dan Ratu Velleran (yang kadang-kadang disebut juga mab). Akan tetapi, mereka tidak berminat menangani urusan pemerintahan. Keduanya tinggal di Anshield, pulau dongeng yang penghuninya tidak terpengaruh oleh waktu.
Feyland dalam kenyataannya diperintah oleh dwean penasihat yaitu para Dewa. Ada dua belas anggota dewan –enam diantaranya menjabat di pemerintahan sementara enam lainnya demgan disiplin mengawasi kesejahteraan negeri Feyland.

Leona Lovegood, ahli sejarah Feyland.

Kami berjalan berbaris memasuki kelas untuk mendaftarkan tingkatan kami dipandu oleh Profesor Chan Yeol. Bayangkan saja, jarak antara asrama dan kelas itu tidak dekat dan kami harus berjalan. Berjalan! Kami bahkan tidak diizinkan untuk merentangkan sayap. Sungguh mengerikan. Tapi ya memang beginilah sekolah bergengsi, selalu menjunjung tinggi aturan-aturan konservatif.

Aku merasakan Jessica juga tidak nyaman dengan semua tatapan itu, jadi ia hanya menunduk. Akupun demikian. Tidak setelah aku menemukannya! Peri berwarna ungu itu. Aku mengenalinya sekarang, tidak sulit untuk mengidentifikasinya. Sangat mencolok. Warna sayapnya yang begitu kontras dengan warna kulitnya membuatnya tampak berkilauan.

Aku melihat barisannya. Kelompok asrama Air, Aqua. Sejenak, aku tak memedulikan tatapan orang-orang padaku. Fokusku seolah hanya tertuju pada gadis itu. Namun, mengapa sedari tadi ia hanya menunduk? Apa dia menyadari tatapanku? Ah, tidak mungkin… Jarak pandangku terlalu jauh darinya, lagipula gerakanku tidak begitu menarik perhatian.

Aku terus memandanginya sampai Profesor Kay menyorakkan sesuatu melalui speaker yang menggelegar. “Setelah kita melalui berabad-abad lamanya, akhirnya dunia Fairyland kembali berjaya. Tahun ini, di putaran ke 3012 kalender cahaya Feyland. Kita kembali mendapat kehormatan untuk menampung dua peri Ungu dan satu peri Biru di sekolah kebanggaan negeri ini, yaitu Galena.” Semua orang bertepuk tangan.

Ada satu hal yang menarik perhatianku saat ini, Profesor Chan Yeol atau siapapun juga tak pernah mengatakan bahwa ada dua peri Ungu yang ‘terungkap’ pada tahun ajaran ini, salah satunya tentu aku. Namun, siapakah ungu lain itu?

Pikiranku kembali berputar pada buku mantra ibuku. Dua peri Ungu. Aku kembali menggelengkan kepalaku. Pasti bukan aku yang dimaksud. Sekalipun aku dilahirkan menjadi peri Ungu, namun bukan berarti aku yang terkuat diantara semua peri. Pasti masih ada peri lain yang jauh lebih hebat daripada diriku.

“Mari kita sambut peri-peri hebat kita, dua dari asrama Ignis dan satu yang terkuat dari asrama Aqua! Mari kita panggilkan, Miss Stephany Hwang, Kim Taeyeon, dan Jessica Jung.”

Okay, great.. mengapa mereka masih menggunakan nama itu sih? Menyebalkan sekali!

Saat kami mulai berjalan ke depan podium, aku merasakan seolah berada di dunia yang terpisah. Sebuah dunia yang penuh kegembiraan sekaligus bercampur dengan kesedihan dan putus asa. Gembira karena semua orang akan menghormatiku sekarang, dan karena aku masih dapat berteman dengan Jessica tanpa memikirkan perbedaan tingkat. Sedih karena ibuku tidak pernah tahu bahwa aku peri Ungu, dan bahwa ayahku tidak akan meneriakkan warnaku dari bumbungan atap rumah.

Lalu aku menyadari kehadiran guru-guru dan teman-temanku. Yang menatapku seolah-olah aku bunga biasa yang berubah menjadi kupu-kupu di depan matanya, sedangkan yang satu lagi menatapku seakan-akan wajah kelabunya remuk berkeping-keping.

“Selamat, nona-nona.. kalian menyandang predikat terbaik di seluruh penjuru Feyland.” Aku dapat melihat dia memaksakan senyumnya. Akupun demikian.

Aku tak menyadari hingga seseorang berdiri tepat disampingku. D-dia? B-bu-bukankah dia itu peri yang…

“Selamat,” katanya mengulurkan tangan. “Sejak pertama kali bertemu, aku sudah tahu bahwa kamu adalah peri yang hebat.” Tuturnya sambil tersenyum. Manis sekali, seperti madu dari lumbung bunga Nephelium lappaceum.

“K—kau? Bukankah kau?”

“Kim Taeyeon.. maaf, aku belum sempat memperkenalkan diriku dengan semestinya. Terakhir kali kita bertemu aku sedang terburu-buru.” Ia terkikik.

Pertama kali, terakhir kali? Bukankah itu berarti sudah lebih dari satu kali kita bertemu. Tapi, mengapa aku sama sekali tidak menyadarinya?

Aku masih terus berpikir sampai Jessica menyikut lenganku.

“Jangan melamun, hwang.” Bisiknya.

Aku menyadari apa yang dia maksud, seketika aku menjulurkan tanganku untuk mendapatkan tanda dari profesor Key. Entah apa itu. Namun satu hal yang kutahu, tatapannya masih sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya.

*

Aku menatap langit-langit kamarku yang terbuat dari platina yang berkilauan. Warna sayapku yang keemasan memantul membentuk spektrum warna yang indah. Jessica sedang tertidur pulas di tempat tidurnya, aku hanya dapat melihatnya sambil tersenyum. Anak itu.. walau terlihat begitu dingin namun sebenarnya ia sangat baik. Aku benar-benar beruntung dapat selalu berada disampingnya.

Tiba-tiba saja aku teringat dengan penggalan kata-kata di buku mantra itu beberapa waktu yang lalu. Dua peri terkuat, ungu. Hari pertama bulan kedelapan tahun 3000 cahaya, ulang tahunku. Tahun yang sama, sekarang. Hari ke sembilan, bulan tiga. Itu berarti Picess, Air = Aqua.

Kim Taeyeon?

Benarkah? Ah, kurasa tidak mungkin. Bukankah murid-murid dari Asrama Aer memiliki tingkat kejeniusan yang luar biasa. Mungkin saja salah satu dari mereka.

Aku tak bisa membayangkan jika semua yang dikatakan buku itu benar, aku tidak suka pertarungan.

Bagaimana jika sebenarnya peri itu memiliki sifat yang buruk? Tapi sepertinya dia gadis yang baik. Aku bahkan tidak yakin ia pernah membaca legenda seperti itu.

Apakah semua yang ditulis ibuku itu benar? Kurasa..

Ibuku tidak pernah berbohong padaku sebelumnya, kecuali saat terakhir kali kami bertemu dan dia berkata dia akan kembali, namun ternyata hal itu tak pernah terjadi.

Aku hampir saja memejamkan mata, saat melihat seseorang di balik jendela. Dengan hati-hati berjalan mendekatinya. Aku sudah bersiap mengambil ancang-ancang sampai ia melambaikan tangan.

Yuri?

Aku melihatnya berkata di balik jendela. ‘Buka pintunya!’

Aku seketika mengangguk dan berbalik lalu membukakannya pintu. Dengan sedikit terheran, apa yang ia lakukan tengah malam begini di depan jendela kamar kami?

Aku hampir saja berteriak saat membukakan pintu dan melihat peri itu kini sudah berada tepat di depan wajahku. Bukankah beberapa menit yang lalu ia masih berdiri di depan jendela. Akupun berbalik.

Kosong. Tidak ada siapapun.

“Ba—bagaimana kau melakukannya?” Tanyaku sambil mencoba mengumpulkan napas.

“Haha.. tidak sulit. Nanti kuajarkan.” Katanya sambil tersenyum. Yuri memang peri yang sangat ramah. Tak heran mengapa bayak orang yang menyukainya.

“Temanmu sudah tidur, huh?” Ia melepaskan sepatunya dan meletakannya kedalam kabinet di samping pintu.

Aku mengangguk. “Kurasa.”

Ia merengut. “Apakah menjadi peri biru akan semelelahkan itu, huh?”

Aku tertawa mendengar komentarnya, “dia memang selalu seperti itu.”

“Baiklah, tidak menyenangkan sekali.” Ia merebahkan diri di kasurku sambil menatap langit-langit. “Kurasa aku iri padamu!”

Aku langsung panik. Aku tidak ingin kehilangan teman seperti Yuri. “K—kau tidak perlu merasa begitu! Aku takkan pernah bersikap angkuh padamu! Anggap saja aku masih sama seperti Tiffany yang kau temui saat pertamakali.”

Dia tersenyum, matanya menyipit. “Yeah, kau tetaplah Tiffany. Maksudku adalah, coba lihat!” Ia menunjuk ke langit-langit. “Kau memiliki warna kulit dan sayap yang indah, jika kau bergerak, seolah ada sebongkah emas yang mengikutimu.” Kemudian ia berdiri dan menggoyang-goyangkan badannya. Hal itu membuatku tertawa.

“Coba lihat jika aku yang melakukannya. Terlihat…”

“Seperti itik bodoh!” Jawab sebuah suara dari seberang tempat tidur. Aku dan Yuri seketika menoleh. Jessica membenamkan kepalanya pada kedua lengannya sambil menggumamkan kata-kata yang tidak dapat kumengerti.

“Tidakkah aku cukup cantik untuk menjadi seekor itik?” Yuri mencoba menggodanya dengan melempar bantal hati kesayanganku kearah Jessica.

“Diamlah kalian berdua! Seseorang sedang berusaha memejamkan mata disini!” Geramnya.

“Benarkah? Kau lebih mirip pingsan daripada tidur.” Godanya lagi.

Jessica yang mulai kehilangan kesabaran akhirnya melempar bantalku kearah Yuri, dan beruntung gadis itu berhasil menangkisnya. Akhirnya sekarang bantal malang itu harus berakhir dengan naas di samping tong sampah. Aku berlari untuk mengambilnya. “Yah! Ini bantal favoritku!” Rengekku.

“Oh, mian..” Jawab Jessica singkat sebelum kembali tertidur, dan tentu saja Kwon Kwok-kwok itu terus saja berusaha menggodanya.

Aku tersenyum melihatnya. Mereka berdua terlihat begitu…

Sesuatu menangkap mataku, sayap ungu yang berkilauan.

*

Continuandos…

F.N : Author masih duduk di kelas akhir, jadi mianhae kalo apdet sebisanya.

FAIRYLAND Capitulo 4

Tag

, , , , ,

20112605456

written by  : Febry Fanytasy (FMS)

“Apa kau percaya dengan adanya peri dan penyihir? Baik, aku sangat mempercayainya. Namun, jika kau mepmercayai semua yang kau baca, lebih baik jangan membaca.”

Capitulo 4

Semua makhluk ghaib di Feyland kecuali troll memiliki tenaga sihir cadangan yang diukur dalam unit-unit yang disebut radia. Unit-unit ini berhubungan dengan jumlah kekuatan sihir, yang tidak sama dengan tingkatan kemampuan. Satu unit radia jika sudah digunakan, akan hilang selamanya.
Setiap warna dalam kalung kristal berisi sepuluh derajat dan menunjukkan radia sepuluh kali lipat pada warna yang mendahuluinya. Derajat pertama dari warna kelabu menunjukkan persediaan sepuluh radia, derajat ke sepuluh dari kelabu menunjukkan seratus radia.
Zona hitam menunjukkan rentang seratus radia hingga seribu radia.
Coklat rentangnya dari seribu hingga sepuluh ribu.
Merah rentangnya dari sepuluh ribu hingga seratus ribu.
Jingga rentangnya dari seratus ribu hingga sejuta.
Kuning rentangnya dari sejuta hingga sepuluh juta.
Hijau rentangnya dari sepuluh juta hingga seratus juta.
Biru rentangnya dari seratus juta hingga satu milyar.
Hanya Ungu yang tidak memiliki rentang, yaitu tidak terbatas persediaan radianya. Namun, Hikayat mengatakan bahwa dahulu kala, jumlah peri Ungu lumayan banyak, tetapi sudah berabad-abad peri semacam itu tidak terlihat lagi.

Leona Lovegood, ahli sejarah Feyland.

Aku terbang tanpa arah di sekitar Galena. Aku tak lagi peduli dengan peraturan yang mengatakan bahwa seluruh murid tidak diperbolehkan terbang di area sekolah. Yang ada di kepalaku saat ini hanya Ungu-ku. Sepertinya berita tentang warnaku sudah tersebar ke penjuru Galena atau bahkan Feyland, entahlah. Kurasakan seketika aku menjadi pusat perhatian. Berbagai macam tatapan yang kudapatkan dari seluruh murid Galena. Kagum, tak percaya, terkesima hingga sinis tak luput sepanjang aku mengepakkan sayap. Semua ini menyisakan tanda tanya besar untukku. Mengapa aku? Mengapa aku harus menjadi peri Ungu? Apa aku satu-satunya peri Ungu yang hidup di Feyland ini?

Matahari sudah rendah saat aku menemukan tempat teduh di balik irisan dinding prisma kristal yang masih di biaskan cahaya spektrum. Aku harus menyipitkan mata untuk melihat tempat itu. Ada sebuah kolam di bawah air terjun. Kolam itu bertepikan batu permata-zamrud, rubi, berlian, safir, topas. Sinar matahari memperindah warna-warna itu dan memantulkannya ke dinding kristal, membentuk spektrum warna yang lebih berkilauan dari sebelumnya. Rumpun bunga yang subur ada dimana-mana. Benar-benar indah.

Aku duduk di atas batu itu, tak menyadari bahwa ada seseorang yang duduk membelakangiku.

“Sigh…” Aku mendengar desahan yang bukan berasal dari mulutku. Aku terkesiap saat menoleh. Sesosok peri berwarna ungu dengan sayap bercahaya tengah duduk diantara tumpukan batu rubi sambil memeluk kedua lututnya.

Sepertinya dia menangkap radarku saat ia menoleh kemudian tersenyum, lalu kembali ke posisi semula. Rupanya aku tidak mengenalnya, wajahnya terasa asing. Dengan kulit ungu pucat dan warna rambut senada. Tak ada yang menarik dari peri itu kecuali sayapnya yang bercahaya dengan warna ungu yang lebih mencolok. Namun, saat mata kita bertemu aku merasa seolah ada yang menarik jiwaku keluar dari tubuhku. Warna mata yang senada dengan sayapnya, begitu lembut dan hangat. Seolah ada kekuatan magis yang membiusku.

Sunyi, suasana sekitarku terasa hening. Entah apa dan mengapa namun ada sesuatu dalam dirinya yang menarik perhatianku. Lama mata kami kembali bertemu. Perlahan, ia menujukan tatapannya pada kalungku lalu mengernyit dalam. Dengan ragu-ragu aku menyentuh kalungku dan membawanya pada telapak tanganku. Mengamati benda itu. Tak ada yang menarik, hanya warna batu yang tadinya kristal kini berubah menjadi Sardonyx.

Aku kembali tersadar saat peri itu sudah menghilang. Tak ada tanda-tanda kemana perginya peri ungu tersebut. Tanpa sadar aku merengut.

Benar-benar tidak sopan. Aku bahkan tidak diberitahu siapa tahu namanya.

*

“Darimana saja kau?” Jessica menghampiriku dari kejauhan saat aku tiba di pintu gerbang asrama Ignis.

Aku tak menjawab, hanya tersenyum. Aku tidak menyesal menjadi peri ‘Ungu.’ Yang tidak kusenangi adalah aku tak memiliki siapa-siapa untuk meneriakan warnaku. Tidak seperti Luna yang segera memberitahukan perihal ‘Kuning’nya pada Ibunya melalui communicatio, sebuah benda sihir berbentuk persegi yang terbuat dari bahan metal dan kristal, benda yang sama persis akan kau temui di bumi dan sering di sebut telepon genggam atau ponsel. Lalu kudengar kedua orang tuanya berteriak ‘Kuning’ dengan bangganya dan membuat Luna berkaca-kaca. Atau Yuri yang langsung bertemu dengan kedua orang tuanya di depan pintu gerbang Galena dan berteriak kegirangan mengenai warna ‘Hijau’nya. Yang kupunya hanyalah Jessica. Peri bersayap merah dengan tingkat delapannya dan memiliki persediaan hampir seratus juta radia. Biru. Peri yang kini duduk disampingku, menemaniku dalam diam.

Dia menyandarkan kepalanya di pundakku saat aku mendesah. Aku tahu dia tahu. Tak ada yang lebih mengerti aku kecuali Jessica. Ketika kami masih sangat kecil, kami bermain-main dengan permata, makan bunga Sonnia segar dan berbagi rahasia. Tahun-tahun sesudahnya kami menjadi terlalu besar untuk bermain permata, tetapi kami masih terus berbagi rahasia. Jessica tahu aku senang menyelinap keluar pada malam hari di tempat favorit kita, dan bahwa aku tidak suka berbicara tentang anggota keluargaku yang sudah tiada.

“Mari kita sambut peri-peri terhebat di seluruh penjuru Feyland.” Kata Yuri dengan nada riang, tetapi dia tidak mau menatap mata kami.

Sunye tersenyum, “Selamat yaa..”

“Kau juga.” Sahutku sambil bertanya-tanya apakah dia merasa sungkan gara-gara persediaan radia kami yang lebih banyak dan tingkat kami yang lebih tinggi.

Tatapan mataku berpendar. Kami menjadi pusat perhatian. Baru kali ini aku berharap aku tidak pernah tahu apa warnaku. Sekarang segalanya telah berubah.

*

Sayup-sayup kudengar para orang tua mengumumkan warna anak-anak mereka di bumbungan atap, di depan gerbang sekolah atau hanya melalui communicatio. “Hitam!” diserukan tanpa semangat. “Merah!” dan “Kuning!” diulang dengan perasaan bangga, lalu “Hijau!” diteriakkan dengan suka cita. Dan aku, tidak menginginkan siapa pun saat ini.

Tetapi, itu tidak sepenuhnya benar. Aku menginginkan seseorang, tetapi dia sudah lama pergi dan tidak akan kembali.

Aku bertengger di dekat jendela, mengenang ibuku dengan sedih sekali. Aneh, sudah beberapa hari ini ibuku sering mengisi pikiranku, padahal sudah bertahun-tahun aku berusaha menghapusnya dari ingatanku. Apa yang kira-kira akan dikatakannya jika dia tahu bahwa aku adalah peri Ungu? Yah, setahuku dia tidak akan membawa kelompok penggosip untuk memberondongku dengan pertanyaan. Aku seperti merasakan jutaan serpihan es tajam ditusukkan menembus hingga ke tulangku.

Dengan hati-hati, aku menarik koperku di samping lemari sambil bertanya-tanya mengapa semua peri harus repot-repot membawa benda seperti ini jika mereka dapat dengan leluasa menggunakan kekuatan sihir mereka untuk apa saja. Walaupun hal itu dapat dikategorikan sebagai pemborosan radia.

Dengan suara klik pada gerendel koper terakhirku, aku mengambil sebuah kotak peninggalan ibuku yang sengaja ditinggalkannya untukku. Miss Jung yang mengatakannya padaku. Dengan perlahan, aku membukanya. Dan benarlah, ada sebuah buku di dalamnya. Ketika kuambil, aneh, ternyata buku tersebut sangat ringan di tanganku, nyaris tidak terasa beratnya.

Hwang Mi Eun, tertulis pada sampulnya. Buku Mantra.

Peri muda seharusnya tidak boleh membaca buku mantra milik ibunya sampai ibunya mengizinkan. Aku sangat tahu itu. Tetapi ibuku kan sudah tidak bisa memberiku izin, padahal aku sangat memerlukan bantuan dan petunjuknya. Sekarang.

Sambil menahan napas, aku membuka sampul buku itu. Pada halaman pertama, di bawah stempel Raja Oberon—sebuah cap lilin emas bergambar mahkota—tertulis catatan kekuatan ibuku: Hwang Mi Eun, Terdaftar tingkat 7, Hijau penuh.

Ibuku memiliki kemampuan sihir yang sangat kuat, tetapi dia hidup sederhana.

Aku mulai membuka halaman-halaman buku itu. Aku melewati berbagai macam petunjuk-petunjuk dan petuah mengenai dunia sihir. Sembari terus membalik halaman, mataku melihat sesuatu yang menarik.

Ada sebuah legenda yang mengatakan bahwa akan ada seorang peri yang lahir dari kuncup bunga matahari pada hari pertama bulan kedelapan tahun 3000 cahaya dalam kalender Feyland, dia akan memiliki tingkat kekuatan sihir yang sangat tinggi dan dapat digunakan untuk menyelamatkan atau justru menghancurkan negeri Feyland.

Selain itu, ada pula sebuah legenda yang juga mengatakan bahwa akan ada peri lain yang lahir di tahun yang sama pada hari kesembilan bulan tiga yang lahir dari kuncup bunga lotus. Peri itu dapat menjadi sahabat sejatinya atau justru musuh terbesarnya.

Secara acak saja aku menyelipkan jempolku pada halaman yang lain.

Api dan Air. Takkan pernah bisa bersatu. Air dapat memadamkan Api, atau justru dapat semakin memperbesarnya jika disiram di tempat yang salah. Bunga matahari dan teratai. Panas dan dingin. Terlihat dan tersembunyi. Glamour dan sederhana. Sunflower, bunga yang sangat memesona. Namun lain halnya dengan Lotus. Indah, memiliki akar yang panjang, namun tak tampak. Satu hal yang menjadikan bunga ini sangat istimewa yaitu kau harus berenang dan berusaha keras untuk dapat memetik bunganya.

*

Continuandos…

FAIRYLAND Capitulo 3

Tag

, , , , ,

20112605456

written by  : Febry Fanytasy (FMS)

“Apa kau percaya dengan adanya peri dan penyihir? Baik, aku sangat mempercayainya. Namun, jika kau mepmercayai semua yang kau baca, lebih baik jangan membaca.”

Capitulo 3

Pada hari yang menentukan itu para peri dan jin muda menerima kalung dan tongkat mereka. Pada hari itu, mereka mengetahui tingkat kekuatan sihir bawaan lahir mereka. Pengetahuan ini akan memengaruhi kehidupan mereka selanjutnya.

Leona Lovegood, ahli sejarah Feyland.

Teman-teman sekelasku keluar dari kubah dan masuk ke halaman pualam yang dibatasi dengan taman berornamen, yang merupakan taman milik murid asrama Ignis. Sesungguhnya taman ini tidak benar-benar milik asrama kami, namun karena letaknya yang berbatasan langsung dengan pintu gerbang belakang asrama Ignis, menjadikan taman ini di dominasi oleh murid-murid asrama Api. Masing-masing asrama memiliki taman yang berbatasan dengan gerbang mereka dan terkadang menjadikan taman itu sebagai daerah teritorial. Namun, setahuku tidak ada peraturan tertulis yang dengan terang-terangan mematenkan teori tersebut.

Beberapa dari kami melihat bunga aster kuning atau ungu yang langka di pajang di antara mutu manikam yang diasah kasar. Kami tidak memperhatikan bunga-bunga itu, dan terus saja berjalan bersama.

“Kita boleh membuka kalung kita sekarang?” Tanya Han Seungyeon.

“Boleh,” jawabnya lugas.

Kusangka Jessica yang pertama kali akan melakukannya, tapi ternyata Yuri. Peri hitam itu menjentik penutup perak kalung dangan ibu jarinya hingga terbuka sebelum menunduk menyembunyikan bandulnya. Semua menatapnya dengan kagum.

“Bagaimana?” Tanya Seungyeon penasaran.

Yuri sengaja menunda-nunda.

“Ayolah,” pinta Sunye. “Apa warnanya?”

Seulas senyum merekah di wajah Yuri. “Hijau.” Serunya. “Hijau penuh! Aku berada di tingkat tujuh.”

Teman-teman sekelas mengerumuninya, mengucapkan selamat dan memohon untuk diizinkan melihat permukaan kalungnya. Aku hanya berdiri di tempat. Terkagum karenanya, penyihir peri tingkat tujuh sudah sangat langka di Fairyland ini, tak heran jika semua peri terkesima dengannya.

Profesor Chan Yeol mengumumkan dia bangga menjadi guru bagi Yuri, dan bahwa peri dengan sihir hijau di Feyland jumlahnya tidak banyak. Beliau mengagguk dengan bangga.

Setelah semua kembali tenang, Sunye berseru, “Giliranku!” Sambil memicingkan mata, Sunye membuka penutup kalungnya dan mendekatkannya kepada Yuri. “Apa warnanya?”

Yuri memeriksa lebih dekat. “Jingga.” Katanya mengumumkan. “Jingga penuh. Tingkat Lima.”

Wajah Sunye menjadi muram. Dia membuka matanya. “Itu saja?”

Semua pelajar di sekitar kami mulai membuka penutup kalung masing-masing. Beberapa menyerukan warna mereka, tetapi banyak juga yang mendesah dan menggerutu. Luna bersorak ketika melihat bahwa dia termasuk tingkat enam dan membuat kagum yang lainnya karena menyatakan dirinya adalah kuning.

“Penuh,” dia terengah sambil mengepak-ngepakkan sayapnya yang juga kuning.

Yuri berpindah ke sisiku. “Coba lihat warnamu, Fany.”

Aku menggelengkan kepala. Tiba-tiba tidak mau tahu. Apapun warnaku, itu akan memisahkan diriku dari teman-temanku. Jika aku tidak sama dengan Yuri, apakah dia akan menyalah gunakan Hijau-nya untuk menindasku? Jika aku memiliki radia lebih besar daripada Sunye, lalu bagaimana? Dan jika ternyata warna Jessica adalah Jingga dan aku Kuning, apakah dia mau memaafkan aku?

Yuri kemudian menyodok Jessica perlahan. “Ayo,” desaknya.

Jessica memutar bola matanya dan mencengkeram kalungnya. Dengan ibu jarinya yang lentik ia membuka penutupnya. Mata merah batanya membelalak, lalu tersenyum. Senyuman yang sangat lebar dan jarang sekali kulihat.

Lambat laun berisik di halaman itu mereda. Ketika akhirnya Jessica berbicara, dia mendapat perhatian penuh dari kami semua.

“Tingkat delapan.” Katanya mengumumkan. “Dan warnaku adalah Biru. Nyaris penuh.”

Yuri tampak terperangah. “Kau bilang tadi Biru?”

“Biru.” Jessica mencoba mengangkat bandulnya.

Luna memekik, Sunye menjerit. Sungyeon berkeliling sambil berteriak, “Biru!” Aku mendengar Profesor Chan Yeol berteriak keras penuh kemenangan. Tingkat Delapan nyaris tidak pernah ada, apalagi Biru. Jessica pasti sedang bercanda.

Jessica tidak sedang bercanda. Tentu saja tidak. Aku bisa saja mengatakan itu pada Prof Chan Yeol. Yuri bisa saja bergurau tentang warnanya. Tapi aku yakin Jessica tidak begitu.

Profesor Chan Yeol melangkah ke depan. “Kuucapkan selamat untuk prestasimu yang luar biasa, Jessica. Kau satu-satunya Biru yang hidup demi memuliakan Feyland.”Pipi kelabu Prof Chan Yeol memerah, seolah ada yang mencelupkannya pada granit merah. Dia berdeham. “Jessica, kuperingatkan padamu, jangan sekali-kali kau menggunakan kekuatan sihir sebelum mendapatkan bimbingan. Sangat berbahaya, dan sangat tidak bijak untuk memboroskan radia walau persediaanmu masih sangat banyak.”

Jessica hanya memutar bola matanya singkat namun akhirnya mengangguk juga.

“Sekarang giliranmu, Tiff.” Bisik Jessica. “Apa warnamu?”

Dengan ragu-ragu aku menarik kalungku. Perlahan, mengintip dengan celah mataku yang sengaja kupicingkan. Aku memandang kristal kemilau yang di gosok hingga tembus pandang dengan sempurna. Kristal itu memperlihatkan sembilan warna dalam segmen yang sama pada permukaan kalungku: kelabu, hitam, coklat, merah, jingga, kuning, hijau, biru dan ungu. Pada bagian pusatnya terlihat sebuah persegi kecil yang memperlihatkan angka 9 yang gemerlapan.

“Apa warnamu?” Jessica kembali mendesak.

Aku menatap pada kalungku lagi. Sebuah jarum berwarna keemasan menunjuk pada garis di antara bagian yang berwarna ungu dan kelabu. Aku memicingkan mata sekali lagi. “Aku tidak tahu..” Jawabku ragu.

“Kau pasti sedang bercanda.” Desis Jessica merasa geram.

Dengan enggan aku menujukkan permukaan kalungku pada Yuri dan Jessica. Yuri membungkuk mendekat lalu tersentak. “Tidak mungkin. Demi troll dan pixie.”

“Jarumnya tidak menunjukkan ke warna manapun.” Kataku.

“Itu bukannya tidak menunjukkan warna apapun, Tiffany.” Jawab Jessica dengan sangat tenang. “Itu menunjukkan Ungu. Penuh.” Lalu wajahnya berseri-seri.

“U—Ungu?”

*

Continuandos…

FAIRYLAND Capitulo 2

Tag

, , , ,

20112605456

written by  : Febry Fanytasy (FMS)

“Apa kau percaya dengan adanya peri dan penyihir? Baik, aku sangat mempercayainya. Namun, jika kau mepmercayai semua yang kau baca, lebih baik jangan membaca.”

Capitulo 2

Dewa dan Peri menerima sebuah kalung dengan batu mulia sesuai dengan kelahiran mereka setelah semua murid dinyatakan lulus tahap seleksi pemilihan Asrama. Kalung ini dirancang oleh nenek moyang. Gunanya tidak hanya untuk memperindah penampilan, tetapi juga mengandung kekuatan sihir yang di tanam di dalamnya.

Lingkaran permukaan kalung itu dibagi menjadi sembilan bagian, masing-masing ditandai dengan permata kristal warna yang berbeda. Ketika kalung itu di pasangkan pada leher pemiliknya, salah satu warna yang menunukkan tingkatan sihir peri dan Dewa tersebut akan menyala. Dimulai dari tingkat yang terkecil yaitu 1 sampai yang terbesar yaitu 9.

Leona Lovegood, ahli sejarah Feyland.

Profesor Chan Yeol memandu kami melalui sebuah gerbang melengkung dari pualam dan memasuki sebuah pelataran yang dipenuhi oleh peri-peri. Sepertinya penyihir peri tahun angkatan kami. “Aku tidak sabar menunggu kalungku menunjukan warnaku.” Jessica meluncur mendahuluiku sambil tersenyum. Peri merah itu memang kadang terkesan dingin, namun dia sesungguhnya hanya tidak mengerti cara mengungkapkan emosinya dengan baik.

“Aku juga.” Kataku singkat sebelum berlari mengerjarnya. “Hey! Kau tidak boleh menggunakan sihir di Galena.” Kucoba memperingatinya. Bagaimana jika ada Dewa atau peri licik yang melihatnya? Bisa-bisa dia dihukum borgol selama satu minggu.

“Aku tidak peduli, karena sepertinya mereka juga begitu.” Jessica kembali mendaratkan kakinya di lantai yang terbuat dari marmer.

Kucoba melihat sekeliling. Tak ada yang benar-benar memperhatikan kami. Semuanya terkesiap seperti anak-anak balita melihat asap berwarna, mereka menatap dengan terpesona. Cahaya matahari masuk menerangi jalan dengan setiap warna spektrum, memantulkan dinding-dinding yang seketika terbuat dari kristal. Kami seolah memasuki sebuah prisma. Permadani mewah berwarna merah, jingga, dan kuning menutupi lantai.

Tepat di tengah tempat terhormat itu, duduklah Dewa besar dengan sayap emas dan kulit yang luar biasa putihnya. Lehernya dihiasi rantai emas dengan bandul Lunarkinesis** yang berhiaskan batu rubi besar dan diukir seperti matahari. Aku menduga dia pastilah kepala Dewan dan peri yang paling penting di negeri ini.

Mataku tertarik pada kesembilan Dewa dan peri yang berdiri di belakangnya. Wajah mereka agaknya terpahat dari batu karang karena kesannya sangat dingin dan keras. Mereka mengenakan jubah emas, dan masing-masing memegang tongkat sihir yang tak bergerak namun siaga.

Ini pastilah Garda Radia, yang ikut hadir di sini untuk memastikan tidak ada yang menyalah gunakankekuatan sihir.

Semua peri membungkuk sopan kearahnya, bahkan para Dewa dan Kepala sekolah kami. Aku dan Jessica sontak ikut membungkuk. Aku terus menggenggam tangan Jessica. Aku tak mau mencarinya di tempat seramai ini.

“Kita berkumpul disini, hari ini.” Katanya dengan suara mendayu, “karena kalian semua telah berhasil lolos dalam ujian masuk sekolah sihir peri terbaik di Oberon City ini yaitu Galena. Ini saat takzim yang menandai awal dari masa magis kalian. Pada tahun-tahun mendatang, kalian akan belajar membangkitkan kekuatan terbesar dari diri kalian, sehingga kalian akan bisa menjadi penduduk Feyland yang bertanggung jawab. Ingat, kekuatan sihir adalah harta penting kalian, jangan sampai kalian boroskan atau salah gunakan.”

Para murid serempak membungkuk dalam-dalam.

Salah satu dari kesembilan garda itu berdiri, lalu mulai berbicara. “Kalian masing-masing akan menerima kalung dan tongkat sihir,” gumamnya. “Kalung kalian mengikuti tradisi Fey, terbuat dari batu mulia dan kristal dengan rantai emas dan penutup perak.” Dia berhenti sejenak. “Tetapi tongkat sihir kalian akan berbeda dari biasanya. Bentuknya masih sama. Masing-masing berupa stilus hitam dari Bumi.”

Serentak semuanya berbisik-bisik dan terkesiap! Tongkat sihir kami dari Bumi? Dan semuanya sama bentuknya? Kami semua terheran-heran, seperti jika Dewa agung mengatakan bahwa Feyland akan terbuka bagi manusia yang ingin berkunjung.

“Dewan Penasihat telah memutuskan untuk menggunakan tongkat sihir yang lebih modern,” lanjutnya. “Kami menganggap suatu pemborosan jika harus menciptakan tongkat khusus satu persatu untuk masing-masing dari kalian.”

Dia mengangkat sebuah benda yang bentuknya mirip tongkat. Benda itu lebih pendek dan pipih daripada pena yang kami gunakan untuk menulis. Walaupun ujungnya meruncing, tetapi sama sekali berbeda dengan tongkat sihir yang selama ini pernah kulihat.

“Manusia membuat stilus seperti ini ribuan jumlahnya,” dia melanjutkan. “Stilus ini mudah didapatkan dan mudah diisi tenaga sihir. Begitu menyentuh tangan kalian, stilus semacam ini akan langsung menjadi tongkat sihir kalian, dan hanya akan berekasi terhadap kekuatan sihir kalian saja.”

Semuanya terdiam kebingungan.

“Tapi kalian tenang saja, begitu kalian berada di tingkat tiga, tongkat ini dapat berubah menjadi tongkat kayu sesuai dengan kelahiran kalian. Tentu saja setelah kalian mempelajari caranya. Kekuatan sihir yang terkandung dalam tubuh kalian juga akan menjadi pertimbangan berubahnya tongkat ini.” Katanya masam.

Menerima isyarat dari Profesor Key, kami ingat peran kami dalam ritual ini, jadi kami pun serentak membungkuk.

“Majulah kalau nama kalian dipanggil oleh masing-masing kepala asrama.” Katanya.

Pelajar pertama yang dipanggil adalah dari asrama Terra, namanya Lee Son Kyu, peri dengan rambut berwarna kuning, berkulit dengan warna lebih pucat dan bersayap orange. Dia melayang ke depan. Seorang Dewa memberikan kepadanya sebuah tongkat sihir pipih yang terbuat dari plastik berwarna hitam. Peri itu maju satu langkah, lalu Dewa asrama Terra memasangkan sebuah kalung tertutup pada lehernya. Kemudian dengan berseri-seri peri itu kembali ke tempatnya di sisi yang jauh.

Satu-persatu semua murid menerima kalung dan tongkat. Saat tiba giliranku dan Jessica, aku berjalan hati-hati dengan gemetar dan sedikit ketakutan. Sayap emasku yang sedari tadi tak berhenti bergetar tak urung menarik perhatian. Namun, Jessica berhasil berjalan dengan anggun saat tiba gilirannya.

Dewa agung itu mengernyit saat memanggil namaku. “Miss Hwang Mi Young?” Aku mengangguk ragu. Sudah lama aku tak menggunakan nama itu. Dia menatapku tajam saat aku memberanikan diri menatap matanya. “Peri Sunflower…” Desisannya seolah aku adalah musuh terbesar yang pernah ada di negeri Feyland ini. Aku mengulurkan tanganku untuk mengambil stilus hitamku kemudian maju satu langkah sebelum Profesor Chan Yeol memasangkan kalung itu pada leherku.

Aku masih dapat merasakan tatapan tajam dan sengit Dewa agung itu walaupun aku sudah berjalan kembali ke tempatku berdiri semula.

*

Continuandos…

**Lunarkinesis

Lunarkinesis adalah Kemampuan mengendalikan cahaya dan gelap seperti membuat bola cahaya atau sebagainya.

Lunarkinesis adalah Kemampuan mengendalikan cahaya dan gelap seperti membuat bola cahaya atau sebagainya.

FAIRYLAND Capitulo 1

Tag

, , , , ,

20112605456

written by  : Febry Fanytasy (FMS)

“Apa kau percaya dengan adanya peri dan penyihir? Baik, aku sangat mempercayainya. Namun, jika kau mepmercayai semua yang kau baca, lebih baik jangan membaca.”

Capitulo 1

TUJUH TAHUN KEMUDIAN

Saat berusia 12 tahun setiap peri wajib di sekolahkan di sekolah sihir yang tersebar diseluruh negeri. Salah satu dari sekolah sihir khusus peri yang terkenal di penjuru Feyland adalah Galena, banyak penyihir peri hebat yang berasal dari sekolah tersebut. Setiap sekolah di ketuai oleh satu Dewa yang memiliki beberapa wakil untuk setiap asramanya. Semua peri dan Dewa memiliki tingkatan sihir yang berbeda dan hal itu merupakan pembawaan dari lahir.

—Leona Lovegood, ahli sejarah Fairyland

Temanku Jessica jarang sekali gemetar, namun ketika melewati gerbang Galena yang besar itu untuk pertama kalinya, sayap merahnya bergetar seperti cermin yang tidak rata. Seorang peri hijau berjalan tepat di belakangnya, tidak dapat menahan diri untuk tidak terus menerus melanting ke bawah. Poni hijaunya melambai di sekitar kepalanya.

Seorang dewa yang tinggi dan gagah menghampiri kami, sayapnya yang keperakan melambai seperti burung phoenix. “Kau duluan, nona manis.” Katanya, matanya berkilauan seperti batu intan yang baru di potong.

Meluncur dengan baik melewati pilar-pilar ajaib yang melindungi Galena, aku tidak dapat menghentikan getaran sayapku. Aku kelewat gembira.

Kami semua terpaksa menunggu sampai seluruh angkatan tahun ini lengkap sebelum memasuki asrama di sekolah sihir Galena. Beberapa peri yang baru datang langsung berbaris dengan rapi di belakang kami. Sekolah ini hanya dihuni oleh peri-peri. Sedangkan para Dewa, memiliki sekolah sihir sendiri yang jauh dari sini. Namun, kendati demikian jantung kehidupan beserta seluruh prosedur negeri Feyland di atur oleh para Dewa.

Hukum yang menjengkelkan dan bodoh, namun, seperti juga semua hukum di Feyland, di jalankan dengan disiplin. Kami telah terperangkap di kota Fairyland sampai aku, dinyatakan genap berusia 12 tahun dan diperbolehkan mendaftar di Galena angkatan tahun ini bersama Jessica.

Begitu aku melewati gerbang itu dan memasuki pintu utama Galena, Dewa yang sebelumnya menyuruh kami masuk berdiri di atas podium di tengah hall yang berukuran sebesar ruang pertemuan di gedung kementrian. Beliau memerintahkan kami semua untuk berjalan kaki kemari. Bayangkan, berjalan kaki! Seolah kami akan mengalami kecelakaan jika kami terbang. Ini benar-benar tidak masuk akal, karena kami semua telah bisa terbang sejak kami berumur empat tahun.

Kaki kami menyentuh lapisan batu granit yang keras dan bukan pasir lembut yang terhampar di Fairyland. Kami harus mengadahkan kepala untuk melihat siluet dewa itu! Di Fairyland, semua bangunan di buat rendah di atas tanah, untuk mencegah peri-peri muda terluka. Tapi di Galena yang terletak di Oberon City kubah-kubah indah menjulang di sekitar kami, perak, emas, platinum dan tembaga berkilauan. Diantara kubah-kubah, aku dapat melihat menara-menara kokoh bertabur mutu manikam.

Sambil memekik kegirangan, seorang peri hitam melayang setinggi lima rentangan sayap sebelum dewa itu meneriakinya. “Tetap di tanah Miss Kwon, atau kalau tidak akan kuikat sayapmu!”

Peri itu turun terlalu cepat sehingga mungkin lututnya memar karena mendarat di atas jalan keras. Dia terpincang-pincang, sementara sayap hitamnya terkulai. Aku mendelik ke arah dewa itu. Namun dia hanya menatapku datar tanpa emosi. Menyebalkan sekali!

“Selamat pagi murid tahun angkatan baru. Aku senang kalian yang beruntung dapat diterima di sekolah ini, kalian tahu kan prosedur masuk sekolah sihir Galena tidak bisa dianggap enteng? Selamat bagi kalian yang berhasil lolos seleksi tersebut.” Ia membenarkan gelangnya sambil mengepakkan sedikit sayap peraknya kebelakang. “Kalian dapat memanggilku Profesor Kei, aku adalah kepala sekolah Galena. Sementara kalian disini, kalian akan melalui tahap seleksi ke dua yaitu penentuan asrama. Seperti yang kalian ketahui selama ini, terdapat empat asrama di Gelena. Keempatnya memiliki elemen yang berbeda, kalian akan menempati asrama tersebut sesuai dengan elemen yang terkandung dalam diri kalian.” Ia mengeluarkan semacam tongkat sihir dengan motif batu safir dari sakunya lalu mengayunkannya di depan wajahnya. “Ini adalah daftar keempat elemen beserta zodiaknya.” Tiba-tiba muncul seperti butiran debu berkilauan yang melayang di langit-langit.

Elemen :

Fire/Ignis (Api) → Aries, Leo dan Sagitarius.

Soil/Terra (Tanah)  Capricorn, Taurus dan Virgo.

Air/Aer (Udara)  Gemini, Aquarius dan Libra.

Water/Aqua (Air)  Cancer, Picess dan Scorpio.

“Setiap asrama di ketuai oleh satu dewa dengan elemen yang sama.” Ia kembali memasukkan tongkat itu di saku jubah abu-abunya. “Silahkan kalian memasuki asrama masing-masing.” Dengan itu ia menjentikkan jarinya dan terbukalah empat lorong di dinding-dinding aula. Terdapat papan nama elemen di setiap lorong beserta satu Dewa tampan yang bertengger di sisinya.

Aku menggengam erat tangan Jessica. Aku bersyukur aku dan Jessica memiliki elemen yang sama. Dia mengangguk dan menyeretku menerobos lusinan peri yang berjalan kaki menuju lorong asrama masing-masing. Genggamanku pada Jessica hampir saja lepas saat seorang peri berdiri tepat di depanku sambil berjalan tertatih. Dia adalah peri hitam yang terjatuh di lantai saat acara penyambutan tadi.

“Maaf..” Katanya sambil menunduk menyesal.

Aku tersenyum padanya, “Tidak masalah, oh.. apa kau baik-baik saja Miss? Apa kau butuh bantuan?” Aku berjongkok di depan lututnya. Darah segar berwarna perak berkilauan muncul dari tenguknya.

Dia menggeleng, “Tidak. Kakiku hanya sedikit terluka.”

Jessica menatapku sambil mendesis, “Ayo Tiff.. Sebelum Dewa itu mengomeli kita.” Ia berkali-kali menyentuh pundakku.

“Pergilah. Terimakasih atas bantuannya.” Peri itupun berjalan terseok mendahuluiku.

“Ya! Kau harus belajar bersikap baik pada orang lain.” Kataku setelah kami sudah hampir sampai di depan lorong.

Dia hanya mengangkat pundak sambil berdecak. “Lagipula itu bukan urusanku.” Katanya sebelum melenggang kearah Dewa tampan di sisi lorong. Aku mengejarnya hingga sampai lalu Dewa itu memberi kami satu kunci kamar yang sama. “Kita sekamar.”

“Baiklah, dan aku harus terjebak denganmu. Lagi.”

“Salah sendiri kau harus ditakdirkan bersamaku. Hahaha..”

Jessica memutar bola matanya dan berjalan ke arah kamar kami. Di persimpangan koridor, kami kembali bertemu dengan peri hitam itu. Kelihatannya dia juga satu asrama dengan kami. Waw, bahkan kamarnya berada disamping kami.

“Hey..”

“Oh, kalian juga Api?” Tanyanya.

Aku mengangguk dan mengulurkan tangan. “Aku masih belum bosan menanyaimu. Masih butuh bantuan?” Ia menerima uluran tanganku sambil menyeringai lebar. “Jadi, siapa teman sekamarmu?”

“Entahlah, kurasa seseorang bersama SunYe.”

“Memangnya dimana dia?” Tanya Jessica tiba-tiba. Aura dingin seketika membekukan kami. Orang-orang akan mengira dia berelemen Es atau sebagainya.

“Aku tidak tahu, mungkin sudah ada di kamar.”

Kami terus berjalan hingga aku dan Jessica berhenti di depan pintu kamar 220. “Kami sudah sampai, kau masih bisa berjalan sendiri ke kamarmu kan?”

Dia tertawa lebar. “Tentusaja. Terimakasih, hmm…”

“Panggil saja aku Tiffany dan dia Jessica.”

“Baik Tiffany dan Jessica, senang bertemu kalian. Namaku Yuri. Sampai berjumpa kembali.”

*

Continuandos…

FAIRYLAND Teaser

Tag

, ,

20112605456

written by  : Febry Fanytasy (FMS)

“Apa kau percaya dengan adanya peri dan penyihir? Baik, aku sangat mempercayainya. Namun, jika kau mepmercayai semua yang kau baca, lebih baik jangan membaca.”

PROLOG

Tidak ada manusia yang hidup di dunia tak kasat mata bernama Feyland. Tempat itu hanya dihuni oleh peri, dewa, pixie dan troll. Semua peri dan dewa dianugerahi kekuatan sihir untuk mengatur dunia itu. Mereka lahir dari bunga-bunga yang sudah ditakdirkan. Sedangkan pixie dan troll yang lahir dari tumbuhan rawa, hidup di negeri masing-masing.

Leona Lovegood, ahli sejarah Fairyland

Kembali ke masa ketika aku masih berusia 5 tahun, saat aku menemukan keluarga baruku. Sebuah keluarga mengadopsiku, awalnya aku tak mengerti. Orang tuaku menghilang, atau lebih tepatnya meniggal. Aku tidak tahu apa penyebab mereka meninggalkanku, aku hanya mendengar desas-desus bahwa mereka terbunuh. Aku yang saat itu masih terlalu dini untuk mengerti kata ‘terbunuh’ hanya diam dan menunggu seseorang menjemputku.

Rumahku terlalu besar untuk kutinggali sendiri, lagipula aku masih terlalu kecil untuk dapat mengurusi diriku sendiri. Ketika Miss Jung menemuiku untuk pertama kalinya di ruang tamu, aku tahu dia orang yang baik. Terlebih ketika aku melihat gadis seusiaku yang duduk di sampingnya. Tak sulit untukku menebak bahwa gadis itu adalah putrinya. Wajah mereka sangat mirip, juga kebaikan mereka.

Awalnya, aku tak setuju. Aku selalu mengelak dan percaya bahwa orang tuaku akan kembali besok, atau besoknya lagi. Namun, setelah Mr. Lu Han Kepala Dewan Kementrian itu meyakinkanku barulah aku percaya. Aku takkan pernah bertemu lagi dengan mereka, selamanya.

Bayangkan, apa yang akan kau lakukan jika ada seseorang yang mengatakan padamu bahwa orang tuamnu telah meninggal padahal belum genap 5 jam yang lalu mereka berkata akan kembali membawakan oleh-oleh untukmu?

Miss Jung mendekatiku, mendekap dan mengelus rambutku. Menenangkanku yang kala itu masih kalut. Seketika kehangatan menyeruak ke seluruh tubuhku. Aku tak tahu sihir apa yang ia gunakan untuk membuatku nyaman. Sentuhannya terasa lembut dan tulus, aku dapat merasakannya.

Mr. Lu Han berkata bahwa aku akan tinggal bersama mereka sampai aku dewasa dan dapat hidup sendiri. Kendati demikian, mereka takkan menjual rumahku pada keluarga lain, aku dapat menempatinya suatu hari nanti. Kapanpun aku mau.

“Mi Young…” Suara serak itu membuat kedua sayapku gemetar. Sosoknya yang jakung, dengan mata seperti manik-manik garnet menatapku dari balik hidung kentangnya. Kulitnya jingga dengan bercak-bercak keemasan, rambutnya berwarna kekuningan. Terdapat kalung dengan bandul simbol Telekinesis** yang melingkari lehernya. “Ku harap kau baik-baik saja bersama Miss Jung, beliau peri yang baik dan tidak tercatat memiliki kasus apapun. Semoga kau tidak menjadi beban baginya.” Itulah kata-kata terakhir yang terucap olehnya sebelum dewa itu pergi dari rumahku.

Sesaat aku berpikir untuk membanting pintu itu, mungkin dengan itu semua keadaan akan berbalik. Namun mustahil, aku saja belum tahu sampai berapa level sihirku. Kendati aku masih kecil, namun aku tahu beberapa perapalan mantra sederhana yang seharusnya tidak boleh digunakan oleh penyihir peri seusiaku. Namun, setelah berpikir lebih lama aku memutuskan untuk tak menggunakannya. Tidak, terlebih di depan Miss Jung.

Sebuah jendela terbuka malam itu. Gelap tak berbintang, dingin udara menusuk tulang. Aku menghirup napas sedemikian dalam, mencoba membendung air mata. Mata Miss Jung yang berwarna kuning pudar menyala sekejap lalu berair.

Ia menatapku dalam diam. Merengkuh pundakku dan menenggelamkan kepalaku di dadanya. Kurasakan kehangatan yang sebentar lagi akan kurindukan dan yang takkan pernah lagi kurasakan selamanya. Jendela hatiku terkuak lebih lebar sehingga malam masuk dengan lebih leluasa.

Umma, Appa, mengapa kau tega meninggalkanku jika kau berjanji untuk kembali?

“Sepertinya orang tuamu meninggalkanmu ini,” aku melepaskan pelukanku sebelum kembali menatapnya. Sebuah kalung berbandul batu opal merah menyala, sejenak kumiringkan kepalaku dan batu itupun berubah menjadi warna biru. Aku yang kebingungan akhirnya mengernyit, mengapa umma memberiku benda seperti ini? Sebelum aku dapat menjawabnya, Miss Jung melakukanya untukku. “Nanti, suatu saat jika kau sudah cukup dewasa, kau akan tahu alasannya. Sekarang, pakailah ini dan jangan pernah sekalipun kau melepasnya, arrasso?” Suara Miss Jung meninggi, dari raut wajahnya kutahu ia sedang tidak bercanda. Dengan gemetar, aku mengangguk. Ia pun tersenyum lalu kembali memelukku.

“Apa mereka tidak mencintaiku lagi?” Suaraku sayup terdengar, teredam di dalam dadanya.

Aku dapat merasakannya mengagguk sekalipun aku tidak mengangkat kepala. “Tentu saja mereka masih sangat mencintaimu, sayang. Mereka bukan pergi tanpa alasan, suatu saat kau pasti tahu mengapa mereka melakukan hal ini. Sekarang, kau akan tinggal bersamaku dan aku akan berusaha menjadi wali yang baik bagimu.” Ketika dia mengatakan hal itu, terjadilah sesuatu yang mengaggumkan. Aku merasa seakan-akan ada sehelai tirai muncul dalam hatiku, terbuat dari tenunan sesuatu yang kuat dan berat sehingga dapat menutup jendela malam itu. “Aku turut berduka cita atas meninggalnya orang tuamu.” Dia mengelus rambut emasku.

Tirai itu kian menebal. Semakin rapat tirai itu menutup, semakin pudar juga kenanganku pada keluargaku yang sudah tiada.

*

**Telekinesis

exo_m_luhan_telepathy_logo_by_jinsuke04-d4yh5sr

Telekinesis yaitu suatu kemampuan batin yang mampu menggerakkan obyek fisik tanpa menyentuh obyek tersebut.