Tag

, , , , , , ,

20112605456

written by  : Febry Fanytasy (FMS) @fanytasy

“Apa kau percaya dengan adanya peri dan penyihir? Baik, aku sangat mempercayainya. Namun, jika kau mepmercayai semua yang kau baca, lebih baik jangan membaca.”

Capitulo 8

Sayap peri diperkuat dengan sihir, tanpa kekuatan sihir itu sayap peri tidak akan kuat untuk membawanya terbang, dan kaki peri pun tidak akan kuat untuk menopangnya. Tetapi semua peri bisa terbang, apa pun tingkat dan warna mereka. Ini adalah kegiatan yang tidak mengurangi radia.

Leona Lovegood, ahli sejarah Feyland.

Teman-teman sekelasku keluar dari laboratorium tanaman sihir kemudian masuk melewati halaman pualam yang dibatasi dengan taman berornamen, yang merupakan tanaman terindah di Feyland. Pelajaran selanjutnya adalah Pengamatan Bumi nama mata pelajaran yang sangat aneh, namun aku tidak dapat menyembunyikan rasa bahagiaku saat mendengar kata ‘bumi’ walaupun hanya sebatas mengamati dari dunia kami. Beberapa dari kami melihat bunga aster kuning atau lili ungu yang langka dipajang di antara mutu manikam yang diasah kasar. Kami tidak memperhatikan bunga-bunga itu, dan terus saja berjalan bersama.

“Aku peringatkan kalian untuk terakhir kalinya,” kata Profesor Chan Yeol mengingatkan kami. “Jangan coba-coba menggunakan kekuatan sihir degan tongkat sebelum mendapatkan petunjuk dari mentor kalian.”

“Untuk terakhir kalinya?” Gumam Jessica di sebelahku. “Aku yakin itu artinya adalah kedua puluh ribu lima ratus enam puluh dua terakhir kalinya.”

Kebetulan Yuri melayang di sampingku, tetapi di pintu gerbang dia berhenti. “Kau duluan, Tiffany,” katanya, matanya berkilauan seperti batu zamrud di belah dua.

Meluncur melewati pilar-pilar ajaib yang melindungi Galena, aku tidak dapat menghentikan getaran sayapku. Aku kelewat gembira.

Kami semua terpaksa menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk dapat memasuki ruang pengamatan yang terletak di menara paling atas gedung sekolah Galena. Di dalam sana terdapat puluhan teropong yang dapat digunakan untuk melihat bentuk bumi dari negeri Fairyland.

Perofesor Chan Yeol mengatakan bahwa teropong itu dulunya diciptakan oleh leluhur Feyland yang tergila-gila oleh bumi. Selain untuk mengamati para anak asuh peri di bumi, teropong ini juga di gunakan untuk memonitoring kegiatan seluruh peri yang sedang berada di bumi. Aku bersyukur karena tidak ada yang mendapati aku dan Taeyeon berada di bumi malam itu.

Begitu aku melewati gerbang dan memasuki ruangan pengamatan, guru kami, Prof Chan Yeol, memerintahkan kami untuk berjalan kaki, seperti biasanya.

Kaki kami menyentuh lapisan batu granit yang keras. Kami melihat hamparan gedung-gedung megah yang menjulang tinggi dari kaca jendela. Wah, hebat sekali gedung-gedung itu! Dari atas sini kami dapat melihat kubah-kubah indah menjulang di sekitar kami, perak, emas, platina, dan tembaga berkilauan. Di antara kubah-kubah itu aku dapat melihat menara-menara kokoh bertabur mutu manikam.

Profesor Chan Yeol memandu kami melalui sebuah gerbang melengkung dari pualam dan memasuki sebuah stasiun pengamatan yang di penuhi oleh peri-peri dan satu dewa, dari seragam yang mereka kenakan sepertinya mereka adalah murid-murid dari asrama Air (Udara).

Aku terus berjalan sampai seorang peri yang jika ia berdiri di hadapanmu, yang dapat kau lihat hanya pundaknya saja. Kurasakan dingin merasuk dari seragamku dan menyentuh kulitku. Aku mendongak, melihat seorang peri tinggi berwarna biru tersenyum penuh sesal.

“Maaf, aku tidak sengaja.” Ia menunduk dalam sambil meletakkan gelas berisi minuman yang tidak sengaja tumpah dan membasahi sebagian seragamku, dari aromanya kurasa itu adalah jus bunga orchid. “Akan kubersihkan.”

Kemudian ia mengeluarkan sapu tangan berwarna senada dengan rambutnya dan mengusapkannya di bagian kerahku. “Sekali lagi aku minta maaf.” Ia kembali menunduk.

“Tidak masalah.” Aku tersenyum ke arahnya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil sapu tangan itu. “Biar aku yang melakukannya.”

“Anio.. Aku yang bersalah, aku yang akan membersihkannya.” Ia kembali mengusap kerahku. Tak beberapa lama setelahnya. Ia terkesiap. Kurasa ia tidak sengaja melihat kalungku. Kalung Ungu-ku.

Ia berhenti sejenak, menatapku tidak percaya kemudian membungkuk sangat dalam. “A—aku benar-benar minta maaf.”

Untuk beberapa saat, ingin sekali rasanya aku membuang kalung ini. Sempat aku berpikir bahwa menjadi peri Ungu tidaklah menyenangkan, sama—sekali. Melihat semua orang yang ingin kau ajak untuk bersahabat, justru mereka memperlakukanmu seolah kau adalah permata yang jika jatuh akan pecah berkeping-keping padahal dalam kenyataannya malah sebaliknya, kau adalah peri terkuat yang pernah ada. Hal itu menyebalkan, dan aku benar-benar sebal sekarang.

“Sudah kubilang tidak masalah, ini hanya kecelakaan,” kuberikan senyum terbaikku berusaha untuk terlihat sangat bersahabat.

“Ya! Shikshin, apa yang kau lakukan dari tadi di sana?” Seorang peri kuning datang menghampirinya, wajahnya begitu cantik seperti berlian. “Profesor SuHo dan yang lainnya sudah menunggu di bawah,”

“Kurasa aku harus segera pergi, sekali lagi aku minta maaf.”

“Ya! Apa yang sudah kau lakukan? Lagi-lagi kau menumpahkan makananmu ya?” Peri cantik itu sekarang berdiri di depanku, melotot ke arah peri biru itu.

“Minuman. Dan aku tidak sengaja.”

“Ck.. sudah kubilang, hati-hati membawanya.” Ia berbalik ke arahku kemudian berkata. “Maafkan dia ya, terkadang shikshin ini memang perlu diajari untuk membawa makanannya dengan benar.” Ia tersenyum ramah, membuat wajah berkilaunya semakin bersinar.

“Sudah kubilang, minuman!” Protes peri biru itu.

“Tidak masalah, aku juga ceroboh karena tidak melihat ada peri yang lewat di depanku.” Aku membalas senyumnya.

“Maaf, tapi kami harus segera pergi.” Mereka berbalik sebelum kutarik lengannya.

“Bolehkah aku tahu nama kalian?” Dari ekor mataku, kulihat Jessica dan Yuri sudah kesal menunggu di dekat bilik pertama sambil berkecak pinggang.

“Aku Im Yoon Ah, dan shikshin ini bernama Choi Sooyoung.”

“Aku Tiffany Hwang, senang bertemu kalian.”

“Kami sudah tahu, senang bertemu dengan peri sepertimu Tiffany.” Kata peri tinggi itu sebelum berjalan menuruni tangga. “Sampai bertemu kembali.”

*

Seperti anak-anak balita melihat asap berwarna, kami menatap dengan terpesona. Bilik-bilik dari kristal sebening air hujan termurni, menjorok keluar dari dinding barat. Setiap bilik berisi sebuah teropong, sebuah alat ajaib yang dapat melihat bumi dari dunia kami. Kami disini diizinkan melihat untuk pertama kalinya tanah antah berantah yang didiami manusia. Walaupun, bagiku ini terhitung kedua kalinya aku melihat bumi. Kami juga akan melihat ibu peri, yang menjaga bayi-bayi manusia dan memberikan hadiah atas kelahiran mereka.

Yuri berada di depanku. Aku melihatnya melangkah memasuki sebuah bilik lalu menempelkan matanya pada teropong, sementara Profesor Chan Yeol berdiri di dekatnya sambil tersenyum.

Beberapa saat kemudian, Profesor Chan Yeol melambaikan tangannya ke arahku. Dengan lembut aku menekankan dahi pada tempat yang sudah disediakan di atas mata teropong itu. Selama beberapa saat, aku hanya melihat pohon-pohon dan langit. Sambil mengamatinya aku merasakan dorongan aneh untuk melompat keluar dari bilik dan mencari portal menuju bumi. Aku ingin kembali melayang ke langit itu, serta menyentuh dedaunan itu dengan ujung jemariku.

“Carilah bayi yang akan kau amati di Bumi, Tiffany.” Kata Profesor Chan Yeol di telingaku. Bisa tidak sih dia berada jauh dari bilik ini?

Aku menyentuh sebuah tombol yang menyalakan sederetan petunjuk ke arah sesosok bayi manusia terbungkus selimut lembut berwarna kuning. Kulit bayi itu cokelat, sedikit lebih terang daripada kulit Yuri, rambutnya seperti gumpalan jerami lurus mirip rambut kurcaci. Kelihatannya manusia tidak punya banyak pilihan dalam hal warna kulit dan rambut. Aku melihat mata bayi itu bercahaya, kaki kecilnya menendang-nendang, dan jemari mungilnya merapat membentuk kepalan kecil.

Sebuah genta berdentang menandakan kesempatan yang membawaku ke sini untuk mengamati: pemberian sifat kepada bayi manusia—kesempatan bagiku untuk melihat sosok ibu peri beraksi.

Aku melihat sebuah hadiah bergerak turun mengambang seperti kabut, lalu mendarat pada kulit bayi itu. Walaupun aku tidak ingin tahu, tetapi kekuatan sihirku mengatakan kepadaku bahwa hadiah yang akan dimiliki bayi itu adalah perasaan ingin tahu yang tidak terlalu besar.

Mata bayi itu meredup.

Aku tidak mengerti. Mengapa ibu peri tersebut memberikan hadiah semacam itu? Bagiku itu bukan hadiah sama sekali, bahkan lebih mirip sebuah kutukan yang merampas kebaikan.

Aku menyipitkan mata, kulihat ibu peri bayi itu bertengger di sana. Wajah pipihnya berpaling dari anak walinya tanpa menengok lagi ke belakang. Sebelum ia pergi, dengan jelas aku melihat rambutnya yang berwarna kunyit di kepang dengan untaian pengantin. Ujung hidung rampingnya turun, dan sayapnya putih.

Sikuku menyentuh pipa teropong sehingga aku tidak dapat melihat bayi itu lagi. Aku mencoba untuk melihatnya lagi. Teropong itu bergerak-gerak dan selanjutnya aku melihat gambar seorang remaja putri yang kira-kira sebaya denganku. Warnanya sangat mencolok, sehingga bisa saja dia sebenarnya peri: rambut merah kecoklatan yang menyala seperti api, mata seperti kacang hazel dengan cahaya kekuningan. Teropong itu menangkapnya tepat ketika dia sedang menatap ke arahku juga. Aku terlonjak, menabrak teropong itu hingga terjatuh.

Wajah berkulit kelabu Prof. Chan Yeol mengerut ketika bibirnya membentuk seringai yang sudah kukenal.

“Kau akan terbiasa dengan pemandangan seperti itu,” katanya.

Itu merupakan kebohongan terbesar yang pernah diucapkan kepadaku.

Continuandos…

F.N : open to advice and criticism 🙂

~Ping!