written by : Febry Fanytasy (FMS)
“Apa kau percaya dengan adanya peri dan penyihir? Baik, aku sangat mempercayainya. Namun, jika kau mepmercayai semua yang kau baca, lebih baik jangan membaca.”
Capitulo 2
Dewa dan Peri menerima sebuah kalung dengan batu mulia sesuai dengan kelahiran mereka setelah semua murid dinyatakan lulus tahap seleksi pemilihan Asrama. Kalung ini dirancang oleh nenek moyang. Gunanya tidak hanya untuk memperindah penampilan, tetapi juga mengandung kekuatan sihir yang di tanam di dalamnya.
Lingkaran permukaan kalung itu dibagi menjadi sembilan bagian, masing-masing ditandai dengan permata kristal warna yang berbeda. Ketika kalung itu di pasangkan pada leher pemiliknya, salah satu warna yang menunukkan tingkatan sihir peri dan Dewa tersebut akan menyala. Dimulai dari tingkat yang terkecil yaitu 1 sampai yang terbesar yaitu 9.
—Leona Lovegood, ahli sejarah Feyland.
Profesor Chan Yeol memandu kami melalui sebuah gerbang melengkung dari pualam dan memasuki sebuah pelataran yang dipenuhi oleh peri-peri. Sepertinya penyihir peri tahun angkatan kami. “Aku tidak sabar menunggu kalungku menunjukan warnaku.” Jessica meluncur mendahuluiku sambil tersenyum. Peri merah itu memang kadang terkesan dingin, namun dia sesungguhnya hanya tidak mengerti cara mengungkapkan emosinya dengan baik.
“Aku juga.” Kataku singkat sebelum berlari mengerjarnya. “Hey! Kau tidak boleh menggunakan sihir di Galena.” Kucoba memperingatinya. Bagaimana jika ada Dewa atau peri licik yang melihatnya? Bisa-bisa dia dihukum borgol selama satu minggu.
“Aku tidak peduli, karena sepertinya mereka juga begitu.” Jessica kembali mendaratkan kakinya di lantai yang terbuat dari marmer.
Kucoba melihat sekeliling. Tak ada yang benar-benar memperhatikan kami. Semuanya terkesiap seperti anak-anak balita melihat asap berwarna, mereka menatap dengan terpesona. Cahaya matahari masuk menerangi jalan dengan setiap warna spektrum, memantulkan dinding-dinding yang seketika terbuat dari kristal. Kami seolah memasuki sebuah prisma. Permadani mewah berwarna merah, jingga, dan kuning menutupi lantai.
Tepat di tengah tempat terhormat itu, duduklah Dewa besar dengan sayap emas dan kulit yang luar biasa putihnya. Lehernya dihiasi rantai emas dengan bandul Lunarkinesis** yang berhiaskan batu rubi besar dan diukir seperti matahari. Aku menduga dia pastilah kepala Dewan dan peri yang paling penting di negeri ini.
Mataku tertarik pada kesembilan Dewa dan peri yang berdiri di belakangnya. Wajah mereka agaknya terpahat dari batu karang karena kesannya sangat dingin dan keras. Mereka mengenakan jubah emas, dan masing-masing memegang tongkat sihir yang tak bergerak namun siaga.
Ini pastilah Garda Radia, yang ikut hadir di sini untuk memastikan tidak ada yang menyalah gunakankekuatan sihir.
Semua peri membungkuk sopan kearahnya, bahkan para Dewa dan Kepala sekolah kami. Aku dan Jessica sontak ikut membungkuk. Aku terus menggenggam tangan Jessica. Aku tak mau mencarinya di tempat seramai ini.
“Kita berkumpul disini, hari ini.” Katanya dengan suara mendayu, “karena kalian semua telah berhasil lolos dalam ujian masuk sekolah sihir peri terbaik di Oberon City ini yaitu Galena. Ini saat takzim yang menandai awal dari masa magis kalian. Pada tahun-tahun mendatang, kalian akan belajar membangkitkan kekuatan terbesar dari diri kalian, sehingga kalian akan bisa menjadi penduduk Feyland yang bertanggung jawab. Ingat, kekuatan sihir adalah harta penting kalian, jangan sampai kalian boroskan atau salah gunakan.”
Para murid serempak membungkuk dalam-dalam.
Salah satu dari kesembilan garda itu berdiri, lalu mulai berbicara. “Kalian masing-masing akan menerima kalung dan tongkat sihir,” gumamnya. “Kalung kalian mengikuti tradisi Fey, terbuat dari batu mulia dan kristal dengan rantai emas dan penutup perak.” Dia berhenti sejenak. “Tetapi tongkat sihir kalian akan berbeda dari biasanya. Bentuknya masih sama. Masing-masing berupa stilus hitam dari Bumi.”
Serentak semuanya berbisik-bisik dan terkesiap! Tongkat sihir kami dari Bumi? Dan semuanya sama bentuknya? Kami semua terheran-heran, seperti jika Dewa agung mengatakan bahwa Feyland akan terbuka bagi manusia yang ingin berkunjung.
“Dewan Penasihat telah memutuskan untuk menggunakan tongkat sihir yang lebih modern,” lanjutnya. “Kami menganggap suatu pemborosan jika harus menciptakan tongkat khusus satu persatu untuk masing-masing dari kalian.”
Dia mengangkat sebuah benda yang bentuknya mirip tongkat. Benda itu lebih pendek dan pipih daripada pena yang kami gunakan untuk menulis. Walaupun ujungnya meruncing, tetapi sama sekali berbeda dengan tongkat sihir yang selama ini pernah kulihat.
“Manusia membuat stilus seperti ini ribuan jumlahnya,” dia melanjutkan. “Stilus ini mudah didapatkan dan mudah diisi tenaga sihir. Begitu menyentuh tangan kalian, stilus semacam ini akan langsung menjadi tongkat sihir kalian, dan hanya akan berekasi terhadap kekuatan sihir kalian saja.”
Semuanya terdiam kebingungan.
“Tapi kalian tenang saja, begitu kalian berada di tingkat tiga, tongkat ini dapat berubah menjadi tongkat kayu sesuai dengan kelahiran kalian. Tentu saja setelah kalian mempelajari caranya. Kekuatan sihir yang terkandung dalam tubuh kalian juga akan menjadi pertimbangan berubahnya tongkat ini.” Katanya masam.
Menerima isyarat dari Profesor Key, kami ingat peran kami dalam ritual ini, jadi kami pun serentak membungkuk.
“Majulah kalau nama kalian dipanggil oleh masing-masing kepala asrama.” Katanya.
Pelajar pertama yang dipanggil adalah dari asrama Terra, namanya Lee Son Kyu, peri dengan rambut berwarna kuning, berkulit dengan warna lebih pucat dan bersayap orange. Dia melayang ke depan. Seorang Dewa memberikan kepadanya sebuah tongkat sihir pipih yang terbuat dari plastik berwarna hitam. Peri itu maju satu langkah, lalu Dewa asrama Terra memasangkan sebuah kalung tertutup pada lehernya. Kemudian dengan berseri-seri peri itu kembali ke tempatnya di sisi yang jauh.
Satu-persatu semua murid menerima kalung dan tongkat. Saat tiba giliranku dan Jessica, aku berjalan hati-hati dengan gemetar dan sedikit ketakutan. Sayap emasku yang sedari tadi tak berhenti bergetar tak urung menarik perhatian. Namun, Jessica berhasil berjalan dengan anggun saat tiba gilirannya.
Dewa agung itu mengernyit saat memanggil namaku. “Miss Hwang Mi Young?” Aku mengangguk ragu. Sudah lama aku tak menggunakan nama itu. Dia menatapku tajam saat aku memberanikan diri menatap matanya. “Peri Sunflower…” Desisannya seolah aku adalah musuh terbesar yang pernah ada di negeri Feyland ini. Aku mengulurkan tanganku untuk mengambil stilus hitamku kemudian maju satu langkah sebelum Profesor Chan Yeol memasangkan kalung itu pada leherku.
Aku masih dapat merasakan tatapan tajam dan sengit Dewa agung itu walaupun aku sudah berjalan kembali ke tempatku berdiri semula.
*
Continuandos…
**Lunarkinesis
wink(s) said:
Simpen dullu ah..^^
wink(s) said:
Walah,, authornya hebat nih.Kekeek
Lengkap banget dah cerita dari dunia perinya. Tapi, masih susah ngebayanginnya nih. Alnya, kagak taw tuh cerita peri-peri walo sering baca komikny atau novel apa gito.Heheh,, sorry 😦
Hem,, kenapa tuh Dewa agung tajam banget natap Ppany? Pa, ada sesuatu dimasa lalu?
Oke,, ditunggu lanjutanny….
Lisa said:
wah keren…mungkin semacan harri potter kali yah..thor…?! itu yg paling bawah penjelasan tentang kekuatannya yah..?! taeng belum muncul u,u
Sen-Chou said:
tuh dewa agung segitunya ngeliatin fany
g pernah liat cewek cakep kali yah
mantep thor, lanjut!!
np: perasaan gue aja atw emang kependekan yak *harap maklum soalnya cuma baca doang g tw klo nulisnya susah. minta d hajar kali nih orang. hajar dah… pake bibir fany. lah kok jadi gini yah nih komen? tadi pan gue niatnya mw bikin komen yang membangun. sumpe loh! demi jidat sica
joe said:
thor pndek bgt chap yg ini. Napa dewa agung natap fany dgn tajam. Fany prnh buat kslahan d masa lalu ya. Taeng kpn nampaknya?
Deer Choding said:
waahh .. kerenn berasa nnton film fantasi ..
prnasaran dengan warna yang terkadung dalam kalung ..
kenapa tuh dewa sepertinya ngga auka fany yahh?? mudah”an jawabnnya ada d part selanjutnya ..